Ramadhan tahun ini baru saja dimulai sudah disambut dengan bencana banjir di Bekasi (4/3/2025). Secara ilmu, seharusnya kita tidak mungkin mengatakan bahwa ini merupakan bencana alam, atau kesusahan manusia yang disebabkan oleh alam. Yang benar kita menyebutnya sebagai bencana kejahilan manusia. Atau kesusahan yang diakibatkan oleh kebodohan manusia.
Sinyalemen al-Qurán yang mutlak kebenarannya menuliskan bahwa telah tampak kerusakan di daratan maupun di lautan karena ulah manusia. (Ar Rum: 41).
Kita tidak bisa menafikan musim hujan yang setiap tahun datang, tetapi manusia patut mencari kesalahannya sendiri untuk menuju evaluasi perbaikan kehidupannya. Perilaku alam sudah menjadi siklus yang sebenarnya manusia telah mempelajari dan punya kuasa untuk mengantisipasinya.
Berdasarkan uraian dari Narasi Explain bahwa banjir disebabkan karena daerah resapan air sudah dialihfungsikan sebagai pemukiman, industri, dan lapangan golf sehingga air hujan yang seharusnya ditampung lahan resapan (Daerah Aliran Sungai), langsung masuk ke sungai. Sedangkan sungai sendiri mengalami pendangkalan karena berbagai macam limbah dan sampah industri maupun rumah tangga yang semuanya bermuara ke sungai.
Tapi pada kenyataannya : penelitian tentang faktor penyebab banjir berakhir hanya menjadi deretan kata; ilmu sunnatullah alam hanya diulang-ulang diperdengarkan; petunjuk tiap saat disodorkan; perilaku alam sering memperingatkan dengan banjir berkali-kali, tetapi perilaku manusia tetap merusak alam, mengotorinya setiap saat. Membangun di lahan yang tidak semestinya, perilaku ‘seenak gue’ membuat lapangan golf, tanpa mempertimbangkan kebutuahan resapan air menjadi fakta sehari-hari bagi bangsa Indonesia.
Deretan bencana yang menimpa bumi pertiwi ini menjadi kenyataan kehidupan manusia semakin terpuruk dan buruk, bukan bertambah baik dan tumbuh (berkah). Melihat kenyataan tersebut, mungkin kah berkah Ramadan itu semata anugerah yang datang dari langit, bukan sesuatu yang kita usahakan bersama?
Sebenarnya usaha perbaikan bersama harus dimulai dengan kemauan mengamalkan ilmu. Masalah manusia Indonesia terletak bukan pada ketidaktahuan, akan tetapi pada ketidakmauan dalam mengamalkan ilmu. Umat Islam semua tahu tentang kebersihan sangat penting bahkan dikaitkan dengan iman, tetapi prakteknya bagaimana? Nol besar. Kalau begitu benar Sabda Nabi: al Islam mahjubun bil al-muslimiin. Nilai-nilai Islam terhijab oleh perilaku umat Islam sendiri.
Tentang manusia sebagai subyek dalam menentukan keberkahan hidupnya, sangat gamblang diketengahkan oleh Allah:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raaf: 96)
Meneruskan ayat tersebut untuk untuk cermin manusia kita patut bertanya kepada diri sendiri: apakah membuang sampah sembarangan merupakan perbuatan taqwa? Apakah membangun bangunan di Daerah Aliran Sungai (DAS) bukan merupakan pendustaan terhadap ayat-ayat Allah? Apakah memprioritaskan lapangan golf daripada daerah resapan air bukan merupakan kekafiran terhadap petunjuk Allah.
Keberkahan Al-Qur’an sebagai petunjuk tetap berlaku bagi orang-orang yang mau menerima dan mengaplikasikan dalam segala ranah hidupnya, bukan malah mendustakannya. Sebagaimana ayat tersebut, kalau kita mendustakannya dengan perilaku jahiliah, maka manusia akan disiksa oleh hasil perbuatannya sendiri.
Ahmad Saefullah