Sore tadi, kami memasuki ruang tamu ndalem mendiang Mak Ny. Nur Aini Almarhumah. Perlu menghadiri tahlilan bersama. Setelah bersalaman mubeng Saya duduk di samping KH. Makhfudz Isrofi, kemudian berderet dari kiri ke kanan duduk khidmat, K. Mudatsir, K. Lukman Hakim, KH. Izzuddin, H. Ihsanuddin, K. Slamet, K. Muhammad Nukman, Ust. Sobah, K. Amrullah, dan K. Affan Dzul Fadhal.
Berkat berkumpul dengan orang-orang shalih ini, vibrasi energi zaman lampau itu datang, kenangan-kenangan mengaduk-aduk batin. Teringat serangkai kisah-kisah keteladanan suwargi KH. Abdul Aziz, suami Mak Ny. Nur Almarhumah yang pernah disampaikan oleh Suwargi KH. Ahmad Syadzirin Amin, KH. Khairuddin Hasbullah.
Gejolak batin itu tak tertahankan mengalir dalam darah, menyusuri saraf-saraf, menggerakkan jari jemari untuk merangkai kisah keteladanan beliau.
Suatu sore di desa Sapugarut, suara anak-anak menendang bola memecah senja. Namun yang paling mencolok dari kerumunan itu bukan suara bola atau sorak-sorai, tapi sosok laki-laki bersarung yang ikut menggiring bola dengan lincah. Sarungnya disingsing setinggi bawah lutut. Ia bukan siapa-siapa—jika kamu tak mengenalnya. Tapi bagi kami, ia adalah Kyai Aziz—guru, sahabat, sekaligus ayah kedua. Demikian tulis KH. Khairuddin Hasbullah yang dikenal sebagai ahli ilmu falaq itu.
Menurut pengakuan pelopor Lembaga Pendidikan Al-Khairiyah Karawang ini bahwa ketika beliau masih remaja. Saat menyaksikan Kyai Aziz ikut bal-balan merasa tercengang. “Jujur, saat melihat seorang santri pulang dari pondok malah main bola, aku pikir beliau gagal total. Tapi ternyata—bola itu hanya wasilah.” Demikian akunya.
Beberapa minggu setelah pertemuan pertama itu, Khairuddin dan teman-teman tiba-tiba sudah rutin tidur di serambi Masjid Az-Zuhud. Kami datang karena bola, betah karena cerita, dan akhirnya…kami bertahan karena ngaji.
Kyai Aziz punya cara unik memikat hati anak muda. Ia tak banyak perintah. Tapi perhatian beliau terasa dari hal-hal kecil: memijat kakinya sebelum tidur sambil disuapi ilmu fiqih, disuruh mencari bab dalam kitab besar—padahal baru belajar nahwu—dan diajak latihan pidato setiap malam Rabu.
Suatu malam, nama Khairuddin disebut sebagai giliran pidato. Seminggu Beliau menulis naskah dengan penuh semangat. Tapi saat naik podium, semua hafalan hilang. Ia hanya bisa mengucap salam pembuka dan salam penutup. Semua yang hadir tertawa, termasuk Kyai. Tapi tak satupun yang mengejek. Justru esoknya, Kyai Aziz berkata,
“Biasa… besok-besok kamu bisa satu jam ngomong sendiri.”
Dan benar saja, bertahun-tahun kemudian, KH. Khairuddin justru dikenal sebagai penceramah. Semua berawal dari podium sederhana malam itu. Semacam sedang menjalani rumus kehidupan: X bukan apa-apa, tapi X awal dari segalanya. X itu adalah latihan pidato.
Tapi yang paling dikagumi dari Kyai Aziz bukan hanya ilmunya, atau khazanah kitab-kitabnya yang bertebaran tiap kali bahtsul masa’il—tapi kesungguhannya dalam mengantarkan santri ke pondok. Untuk tujuan keberlangsungan estafet generasi pembawa obor ajaran-ajaran Islam.
Bayangkan, puluhan bahkan ratusan anak diantar langsung oleh beliau ke Pesantren Tremas di Pacitan. Naik mobil berjam-jam, melewati hutan dan jalan sempit. Beliau tidak pernah mengeluh. Alasannya sederhana: “Sekalian silaturrahmi ke guru-guru.”
Kita terharu mendengar kisah beliau, sekaligus malu. Karena, kader yang diantar beliau ke pondok, pernah ingin kabur karena tak tahan rindu rumah.
Kyai Aziz wafat di usia 48. Saat berita itu sampai di Karawang, KH. Hairuddin sebagai teman sekaligus murid hanya bisa memeluk sajadah dan menangis dalam sujud. “Aku hanya sempat menjenguk beliau sekali di rumah sakit—terlalu sibuk mengejar dunia. Tapi warisan ilmu, spirit beliau tak pernah hilang.” Akunya.
Tradisi Pesantren, kader-kadernya, bahkan gaya pidato para Kiai Rifa’iyah generasi seusia KH. Ma’ruf Sabrawi hasil besutan totalitas dan keikhlasan beliau.
Menurut pengakuan K. Khairuddin, bahwa setiap kali ia naik mimbar, sering teringat beliau, bersarung di tengah lapangan bola. Karena kadang, untuk menanam ilmu di hati anak muda, tidak selalu harus mulai dari kitab.
Cukup dari bola… dan cinta.
Itulah kenapa kadang setiap kampung harus ada lapangan.
Paesan, 17 April 2025
Penulis: Ahmad Saifullah