Selamat jalan, Bu Nyai…
Hanya tulisan yang dapat kami haturkan…
Mentari pagi perlahan menyapa Desa Paesan Tengah. Udara sejuk berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang harum. Di gang sempit berdinding bata merah, seorang perempuan paruh baya bernama Nur Aini tengah menyapu halaman rumahnya. Wajahnya terpancar ketenangan, dihiasi kerutan halus sebagai tanda perjalanan hidup yang panjang. Matanya, yang tajam namun hangat, menatap langit biru yang perlahan berhias awan putih.
Nur Aini adalah sesepuh warga, dan guru bagi santri-santrinya, bijaksana dan disegani semua orang. Di pundaknya terbeban sejarah panjang Desa Paesan Tengah, sebuah desa yang dihuni oleh warga Rifa’iyah, pengikut Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad, pahlawan nasional yang gigih melawan penjajah.
“Mak Nur, pagi!” Sapa Misrohat, perempuan muda berjilbab warna biru muda yang baru keluar dari rumahnya.
“Pagi, Misrohat. Sudah siap untuk mengajari anak-anak di Tarbiyatul Banat?” balas Nur Aini, senyuman tipis terukir di bibirnya.
Misrohat mengangguk. “Insya Allah, Ibu. Sudah lama sekali saya menantikan malam Jum’at ini.”
Misrohat adalah guru muda yang penuh semangat. Ia mengajar di Tarbiyatul Banat, bersama Runtiyah, Tarbiyatul Banat yang kemudian disingkat menjadi TARBAN sebuah majelis pendidikan bagi anak-anak perempuan Rifa’iyah di Desa Paesan Tengah. Tarbiyatul Banat merupakan warisan leluhur mereka, sebuah majelis taklim yang dibangun atas semangat untuk melestarikan nilai-nilai agama Islam dan tradisi Rifa’iyah.
“Semoga malam ini anak-anak semangat belajar, Misrohat,” ujar Ny. Nur Aini penuh harap.
Misrohat tersenyum. “Insya Allah, Ibu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin.”
Malam Jum’at tiba. Di Majelis TARBAN yang di selenggarakan di Langgar Fadhillah, sebuah tempat ibadah sederhana yang menjadi tempat belajar Tarbiyatul Banat, puluhan anak perempuan duduk rapi di atas karpet. Mereka adalah bunga-bunga kecil Desa Paesan Tengah, berusia antara 6 hingga 12 tahun. Wajah-wajah mereka ceria, berbinar dengan rasa ingin tahu dan semangat belajar yang tinggi, kebersamaan mereka begitu harmoni.
Di hadapan mereka, Misrohat, Min’ati, dan Zubairoh, tiga guru muda, duduk bersiap. Mereka adalah sahabat karib, yang memiliki kecintaan yang sama terhadap pendidikan dan anak-anak.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” sapa Misrohat, membuka pengajian malam itu.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab anak-anak serentak.
Malam ini, mereka akan belajar membaca bersenandung dengan kitab Al-Barzanji, sebuah kitab berisi riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Anak-anak mendengarkan dengan khidmat, sesekali mereka mengajukan pertanyaan yang membuat suasana menjadi hangat.
Shobiroh, salah satu anak yang aktif dalam mengaji, mengangkat tangan. “Ustadzah, kenapa kita harus membaca kitab Al-Barzanji?”
“Karena kitab ini mengajarkan kita tentang sifat mulia Rasulullah, yang bisa kita teladani bersama,” jawab Misrohat. “Kita bisa belajar tentang kejujuran, kesabaran, kasih sayang, cinta fakir miskin dan banyak lagi sifat baik lainnya.”
Shobiroh mengangguk, matanya berbinar. Ia memang selalu gembira jika bisa belajar hal-hal baru yang bermanfaat.
Selain belajar kitab Al-Barzanji, anak-anak juga belajar membaca Al-Qur’an, berpidato, dan menghafal kitab Tarajumah karya KH. Ahmad Rifa’i.
Di tengah kegiatan belajar, Min’ati memanggil Roudlotul Jannah, seorang anak yang memiliki suara merdu. “Roudhotul Jannah, kamu ingin belajar tilawah?”
Roudhotul Jannah mengangguk malu-malu. “Saya ingin belajar, Ustadzah. Tapi saya takut salah.”
“Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu mau belajar dan berlatih,” kata Min’ati sambil tersenyum.
Roudhotul Jannah mulai belajar tilawah dengan semangat. Ia berlatih setiap malam, suara merdunya mengalun indah di tengah kesunyian malam.
Di luar kegiatan belajar, anak-anak Tarbiyatul Banat juga aktif dalam kegiatan sosial. Mereka mengumpulkan uang jajan mereka untuk membeli makanan, yang kemudian dibagikan kepada teman-teman mereka yang kurang mampu.
“Ustadzah, ini uang saya untuk sedekah,” kata Shobiroh, menyerahkan uang recehan yang ia kumpulkan selama seminggu.
“Terima kasih, Shobiroh. Kamu memang anak yang baik hati,” jawab Misrohat, terharu melihat sikap Shobiroh.
Anak-anak Tarbiyatul Banat tumbuh dalam suasana penuh kasih sayang dan nilai-nilai luhur. Mereka adalah generasi penerus yang diharapkan dapat menerangi Desa Paesan Tengah dengan cahaya iman dan kebaikan.
Di tengah kesibukannya mengajar, Misrohat, Min’ati, dan Zubairoh selalu menyempatkan waktu untuk bercerita dan berbagi cerita. Mereka adalah sahabat yang saling mendukung, yang selalu bersama dalam suka dan duka.
“Kalian tahu? Roudhotul Jannah memenangkan lomba tilawah di tingkat kecamatan!” kata Min’ati dengan bangga.
“Alhamdulillah, ternyata latihannya tidak sia-sia,” jawab Zubairoh sambil tersenyum.
“Saya senang sekali melihat anak-anak Tarbiyatul Banat tumbuh menjadi pribadi yang baik dan berprestasi,” ujar Misrohat.
Mereka bertiga memang memiliki kecintaan yang sama terhadap pendidikan dan anak-anak.
Desa Paesan Tengah menyimpan banyak kisah inspiratif. Warisan perjuangan Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad yang gigih melawan penjajah, semangat para sesepuh desa dalam menjaga nilai-nilai agama Islam, dan kecintaan para guru muda terhadap pendidikan.
Di tengah perkembangan zaman yang semakin cepat, Desa Paesan Tengah tetap teguh memegang tradisi dan nilai-nilai luhurnya. Tarbiyatul Banat terus bergiat, menjadi cahaya di tengah desa, menerangi jiwa muda dengan nilai-nilai agama dan budaya.
Ny. Nur Aini, Runtiyah, Misrohat, Min’ati, Zubairoh, Shobiroh, dan Roudhotul Jannah, adalah bagian dari kisah inspiratif Desa Paesan Tengah. Mereka adalah bukti bahwa semangat untuk menebarkan kebaikan dan meneruskan warisan leluhur akan selalu hidup di setiap generasi.
Matur nuwun, Bu Nyai… Atas semua pengabdiannya untuk agama Allah Swt, khidmatmu untuk masyarakat…
Jazakumullah ahsanal jaza… Amin
Doakan…semoga langkah kami mengikuti nilai-nilai luhurmu…
Salam Kagem Kanjeng Nabi…
Setiap orang bisa menuliskan keteladanan tokoh untuk cermin diri manusia.
Paesan Tengan, 16 April 2025
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali