Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, kaum sepuh dari kalangan Rifa’iyah tetap teguh mempertahankan warisan budaya leluhur mereka: seni Genjring. Seni tradisi ini merupakan perpaduan unik antara musik rebana, syi’ir sholawat, dan nadhom-nadhom berbahasa Jawa yang sarat makna, sebagian besar berasal dari karya ulama besar, Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad.
Seni Genjring biasanya dibawakan dalam berbagai momen keagamaan dan sosial kemasyarakatan, seperti pengajian, haul, atau bahkan kegiatan rutin di langgar-langgar kampung. Iringan rebana yang khas berpadu harmonis dengan lantunan syi’ir yang mengajarkan nilai-nilai akhlak, persatuan, hingga ajaran rukunan (kerukunan) dalam kehidupan bermasyarakat.
“Ini bukan sekadar hiburan, tapi cara kami menjaga ajaran Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad tetap hidup dalam hati dan laku sehari-hari,” tutur salah satu tokoh sepuh Rifa’iyah di Temanggung.

Lagu-lagu dalam seni Genjring memuat pesan moral dan spiritual. Syair-syairnya mengajak untuk bersikap jujur, tawadhu’, serta menumbuhkan kecintaan terhadap Rasulullah dan para ulama. Beberapa di antaranya bahkan menjadi sarana edukasi untuk anak-anak muda dalam memahami ajaran agama dengan cara yang lebih membumi.
Meski generasi muda kini lebih akrab dengan musik digital dan budaya populer, kaum tua Rifa’iyah tetap berusaha mengenalkan seni Genjring sebagai warisan yang tak boleh punah. Mereka berharap ada regenerasi yang kuat agar nilai-nilai luhur dalam seni tradisi ini terus mengakar.
Seni Genjring bukan hanya tentang musik, tapi tentang identitas, kebersamaan, dan kelestarian budaya Islam Nusantara yang penuh hikmah.
Penulis: Dimyati
Editor: Ahmad Zahid Ali