“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
(QS. Al-An‘am: 79)
Jika Tuhan senantiasa bersamamu sepanjang 24 jam — إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا (At-Taubah: 40) — maka belum tentu gurumu mendampingimu satu jam penuh dalam sehari. Jika Tuhan lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri, maka sesungguhnya tak ada satu makhluk pun yang lebih dekat kepadamu selain Dia. Dan jika Allah sendiri telah menegaskan, “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 5), mungkinkah kita berani berkata bahwa mustahil kita berguru langsung kepada-Nya?
Bukankah sejak awal, ketika ruh manusia diciptakan, Tuhan bertanya: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” dan ruh kita menjawab: “Betul, Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.”
Kalimatnya adalah أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ, bukan أَلَسْتُ بِإِلَهِكُمْ. Kata rabb itulah yang kemudian menjadi akar kata tarbiyah — pendidikan, pengasuhan. Karena itu, para pembimbing di lembaga-lembaga pendidikan disebut murabbi. Pendidikan selalu memerlukan relasi guru dan murid, juga pelajaran yang dijalani. Jika demikian, bagaimana mungkin kita menghindar dari asuhan Rabbul ‘Alamin — Tuhan Pemelihara seluruh alam — sedangkan kita hanyalah serpihan debu di bentangan jagat-Nya?
Banyak orang berpegang pada adagium yang terkenal di kalangan santri: belajar itu perlu sanad. Memang benar! Tetapi perlu diingat, sanad itu lahir dari tradisi periwayatan hadis — ia penting untuk ilmu yang diwariskan secara riwayat. Lalu bagaimana dengan pengalaman hidup? Apakah pengalaman ruhani manusia pun memerlukan sanad? Bukankah Allah memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tanpa harus lewat rantai riwayat manusia?
Tanyakan pada hidupmu sendiri: adakah pengalaman hidup manusia yang benar-benar sama? Adakah jalan hidup yang persis saling meniru? Setiap orang berjalan di atas silabus Ilahi yang khas. Bolehkah kita berkata bahwa sanad kita langsung tersambung kepada Tuhan? Bolehkah kita menghadap langsung kepada-Nya, membaca sendiri ayat demi ayat dari peristiwa-peristiwa hidup kita?
Jika bab ujian hidupmu saat ini adalah sabar, mengapa engkau mengeluh ketika datang musibah? Bukankah itu rangkaian kurikulum dari Rabb-mu? Apakah engkau mau lulus dengan nilai baik di hadapan Tuhan, sementara engkau menolak diuji?
Temanku pernah berkata: manusia sering sabar ketika miskin, tetapi banyak yang goyah justru saat diuji dengan kekayaan. Sedikit kaya, sedikit kuasa, langsung lupa diri — bahkan berangan-angan menambah istri lagi. Ha… ha… ha…
Manusia sering terjebak pada kultus individu karena tidak seimbang dalam berguru. Kita tenggelam berguru kepada manusia, namun lupa untuk berguru kepada semesta — lebih parah lagi, lupa untuk berguru kepada Allah semata. Pancaran kilau dahi seorang guru kadang justru menjadi hijab. Wangi jubah kharisma kadang mampu menutup kesadaran kita akan kehadiran Tuhan.
Karena itu, meski ungkapan “Man lā syaikha lahu, fa-sy-syaithānu syaikhuhu” — “Barang siapa tidak punya guru, maka setanlah gurunya” — mengandung kebenaran, kita tetap harus bijak memilih kepada siapa kita berguru. Dalam pandangan KH. Ahmad Rifa’i, pilihlah guru yang ‘alim dan adil. Sebab jika salah pilih, sang guru justru bisa menjelma menjadi “setan kepala hitam” yang menutup jalan murid menuju Allah.
Rasulullah ﷺ pun mewanti-wanti: “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri,” sebab di sanalah Tuhan menanamkan fatwa-Nya. Kita butuh berguru kepada Tuhan, tetapi sering kali malah sibuk memburu berhala-berhala manusia. Masih segar di ingatan kita, bagaimana kisah kultus keturunan, gelar, dan simbol kerap membutakan nurani.
Mbah Rifa’i pun pernah berpesan:
“Dzatullah ning dunya tan katingalan — nanging penggawéné katingal kedlahiran.”
Artinya, Dzat Allah tidak tampak di dunia, tetapi perbuatan-Nya nyata kasatmata. Bisakah kita belajar meneladani Allah dengan memerhatikan penggawéné — karya-karya-Nya di alam semesta?
Bukankah Rasulullah ﷺ mengajarkan:
تَخَلَّقُوا بِأَخْلَاقِ اللَّهِ
“Berperilakulah kalian dengan akhlak Allah.”
Maka, jika ditanya: bagaimana caranya berguru langsung kepada Tuhan? Jawabannya ada pada firman-Nya yang sering kita baca di doa iftitah:
“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
(QS. Al-An‘am: 79)
Berguru kepada Tuhan berarti menghadap langsung kepada-Nya — sorogan tanpa hijab. Inilah prinsip ihsan — beribadah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak mampu melihat-Nya, maka yakinlah Dia melihatmu.
“Ihsan itu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR. Muslim)
Semoga kita tetap punya guru, tetap menjaga sanad, tetapi tidak kehilangan jembatan menuju Guru Sejati — Allah Rabbul ‘Alamin. Karena pada akhirnya, hanya kepada-Nya kita kembali.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra