Angin malam menyelinap pelan di celah-celah bebatuan Gua Hira. Seperti biasa, Muhammad duduk bersila, matanya menerawang ke langit. Keheningan menggenang, hanya suara hatinya yang berdetak kencang mencari, bertanya, menanti jawaban yang entah dari mana akan datang.
Sudah beberapa malam ia tinggal di sini. Ia menjauh dari riuh Mekkah yang penuh kemusyrikan, kezaliman, dan ketidakadilan.
Setiap malam dihabiskan dalam tafakur, menyelami alam dan dirinya sendiri, mengurai makna tentang Sang Pencipta yang mustahil seperti berhala-berhala itu.
“Apakah Engkau di langit, ya Allah?” gumamnya pelan, “Ataukah di sini, di dalam dada yang bergetar ini?”
Tiba-tiba malam itu berbeda.
Satu malam yang mengubah segalanya.
Cahaya menyemburat dari kegelapan. Tubuhnya menggigil. Sebuah suara, begitu kuat dan agung, memanggilnya.
“Iqra’.”
Muhammad tertegun. Tubuhnya membeku. Suara itu datang dari sesosok makhluk luar biasa—Jibril, malaikat utusan Tuhan.
“Aku… aku tidak bisa membaca,” jawabnya, takut dan bingung.
Namun suara itu datang lagi, kali ini lebih kuat, menghimpit jiwanya.
“Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq.”
“Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
Pada malam itulah, Nabi Muhammad Saw menapaki lebih lanjut makrifatullah. Bukan sekadar pertemuan dengan malaikat, tapi kesadaran penuh bahwa Allah benar-benar nyata, dekat, dan memanggilnya secara pribadi.
Ia berlari pulang, tubuh gemetar, wajah pucat. Khadijah, istrinya yang setia, memeluknya dan menenangkan. “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu,” katanya.
Beberapa waktu kemudian, sebuah perjalanan lain membawanya jauh lebih dalam: Isra’ dan Mi’raj. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu naik ke langit bersama Jibril. Ia bertemu para nabi terdahulu: Ibrahim, Musa, Isa.
Puncak dari semua itu adalah saat ia berdiri di hadapan Tuhan, di Sidratul Muntaha. Tidak ada hijab, tidak ada perantara. Ia mengalami apa yang tak bisa dijelaskan oleh bahasa manusia: penyatuan makna, rahasia Ilahi yang tak terkatakan.
Di sanalah, Muhammad menyaksikan wujud cinta Tuhan yang tak terbatas, menerima perintah salat, dan kembali dengan hati yang tercerahkan. Ia tidak hanya mengenal Tuhan, tapi kini membawa cahaya makrifat itu untuk seluruh umat manusia.
Sejak saat itu, langkah-langkah Nabi semakin spiritual, semakin meruhani. Ia tidak hanya menjadi Rasul bagi umatnya, tetapi juga kekasih Allah yang hatinya telah tersentuh oleh makrifat paling dalam: bahwa Tuhan itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher (aqrobu min habli al-wariid)
Dalam cerita tersebut kita bisa mempelajari bagaimana tahap-tahap tangga yang harus dilewati dalam rangka makrifat kepada Allah Swt.
Berdasarkan keterangan Syaikh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus As-Shirah An-Nabawiyyah: bahwa tahanuts dilakukan dengan tujuan utama muhasabah diri, tafakkur tentang penciptaan, dan terus beribadah dan mendekat kepada Allah.
Zikir dan tafakkur sebagai metode untuk mengenal Allah, alam, dan diri. (QS. Ali Imran: 1991).
KH. Ahmad Rifai menegaskan dalam kitab Targhib Awal bahwa langkah tertib urut-urut menuju makrifat kepada Allah yaitu berusaha mengenal dirinya.
وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
lan ingdalem awakira kabeh kadadehane
anata ora ningali kelakuanne kabeh tinamune
“Dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa tahapan makrifat diawali dengan meneliti dan mengenal diri sendiri untuk menuju mengenal Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi saw:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ، فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa mengetahui diriya sendiri, maka ia akan mengetahui Tuhannya.”
Langkah pertama untuk mengenal diri sendiri ialah mengetahui terlebih dahulu bahwa diri manusia tersusun dari jasmani ruhani. Dari pengetahuan dasar tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan, apa saja kebutuhan jasmani dan ruhani.
Pada masa anak-anak sampai remaja (masa pertumbuhan) kebanyakan manusia mencukupi kebutuhan jasmaninya lebih banyak dibandingkan kebutuhan ruhani.
Semua bentuk ritual keagamaan yang sejatinya untuk memenuhi kebutuhan ruhani pada masa remaja seakan hanya ritual gugur kewajiban. Ia belum menghayati, mengkhusyuki, menyelami makna dibalik perintah-perintah keagamaan tersebut.
Pengalaman indra ragawi akan mendominasi remaja, hingga remaja mudah goyah dengan iming-iming yang sifatnya jasmaniah. Iklan yang ditangkap oleh idra ragawi sering ditaati. Hal ini, mengingat bahwa semua indera jasmani menangkap informasi dari luar, sehingga indera mudah digoyang yuwas wisu fi shudurinnas.
Ketika puasa dilakukan kebanyakan manusia raganya mulai lunglai, sebaliknya justru ruhani menguat. Penginderaan ruhani adalah akal sehat, dan hati nurani.
Paesan Tengah, 11 April 2025
Ahmad Saifullah
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali