“Utawi ilmu tasawuf pertelane
Ngaweruhi ing setengahe kelakuane
Sifat pinuji lan cinolo ning atine
Supoyo bener ati maring Allah nejane”
Artinya: “Ilmu tasawuf itu menjelaskan sebagian tingkah laku, sifat terpuji, dan tercela dalam hati agar hati benar kepada Allah sesungguhnya.”
Dari petikan syair KH. Ahmad Rifa’i tersebut, kita diajarkan bahwa tasawuf menempati posisi penting sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritual. Tasawuf tidak membicarakan ibadah lahiriah, melainkan menyentuh aspek batiniah yang mendalam.
Di antara konsep sentral dalam tasawuf terdapat proses takhalli, tahalli, dan tajalli—tiga tahapan spiritual yang dijalani seorang salik (pengelana spiritual) untuk meraih kedekatan dengan Allah SWT.
Takhalli
Takhalli berasal dari bahasa Arab خلّى – يُخلّي yang berarti “mengosongkan” atau “melepaskan.” Dalam konteks tasawuf, takhalli adalah proses penyucian jiwa dengan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. KH. Ahmad Rifa’i dalam Ri’ayatal Himmah memaparkan delapan sifat tercela:
- Hubbuddunya (cinta dunia)
- Thama’ (rakus)
- Itba’ul Hawa (mengikuti hawa nafsu)
- Ujub (bangga diri)
- Riya’ (pamer)
- Takabur (sombong)
- Hasud (dengki)
- Sum’ah (ingin dipuji)
Tahalli
Tahalli adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. KH. Ahmad Rifa’i membagi sifat-sifat terpuji menjadi delapan, yaitu:
- Zuhud
- Qana’ah
- Sabar
- Tawakal
- Mujahadah
- Rida
- Syukur
- Ikhlas
Kedelapan sifat ini harus dilalui untuk mencapai kondisi batin yang lebih tinggi, yaitu khauf, muhibbah, dan ma’rifat. Hal ini dijelaskan dalam Ri’ayatal Himmah.
Tajalli
Tajalli berarti “penyingkapan” atau “manifestasi.” Dalam tasawuf, tajalli merujuk pada terbukanya hijab (tabir) antara hamba dan Tuhannya sehingga hamba dapat merasakan kehadiran Allah secara lebih dalam dan nyata di dalam hatinya.
Tajalli adalah buah dari takhalli dan tahalli. Menurut para sufi, tajalli bukan semata-mata hasil usaha manusia, melainkan anugerah Allah bagi mereka yang bersungguh-sungguh menyucikan diri.
Seorang teman, dalam penyusunan tesisnya, bertanya kepada penulis: mengapa KH. Ahmad Rifa’i dalam Ri’ayatal Himmah lebih dahulu menjelaskan tahalli (sifat terpuji) kemudian takhalli (sifat tercela), padahal dalam kebanyakan teori maqamat, urutannya adalah takhalli terlebih dahulu lalu tahalli?
Penulis menjawab, kebanyakan sufi memang mengurutkan takhalli → tahalli → tajalli, dan hal tersebut tidak keliru. Namun, dalam praktiknya, tahalli bisa menjadi pintu menuju takhalli. Yang terpenting adalah kontinuitas proses, bukan kekakuan pada urutan. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Fikih Dinamis: Menjawab Tantangan Zaman dengan Qiyās
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra


