Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Tetes Ilmu Mbah Rifa’i (5): Maksud Ilmu dan Metode Pembelajaran

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
June 16, 2025
in Kolom
0
Tetes Ilmu Mbah Rifa’i (5): Maksud Ilmu dan Metode Pembelajaran
0
SHARES
49
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Sebelum kita membahas metode pembelajaran versi Mbah Rifa’i, terlebih dahulu kita perlu mendalami definisi ilmu. Kita mulai dari pertanyaan: apa itu ilmu? KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Irsyad, korasan pertama, menerangkan bahwa:

اَلْعِلْمُ إدْرَاكُ الشَئْ ٌبِحَقِيْقَتِهِ

اُتَوِىْ عِلْمُ كلَوَنْ سَبنرَىْ تِعَالْ اَتِنَىْ

إيْكُوْ اَنمُوْ اِعْ سَوِجِ وِجِ كَهَنَنْ كلَوَانْ سَتمنَىْ

لَنْ ورُهْ مَالِيْه اَتِنَىْ إعْ كَمَقْصُودَنَىْ

أوْرَا سَلَيَا سَكِعْ دَيْنَىْ تِعْكَهْ تِنَمُوْنَىْ

“Ilmu adalah ketika hati melihat keadaan sesuatu dengan sesungguhnya, juga mengetahui maksud dari sesuatu itu yang tidak berbeda dengan kenyataan perilakunya.”

Sejak dulu kita mengenal ayat Allah qauliyah dan kauniyah. Ayat qauliyah dipelajari dan ditadabburi hingga melahirkan berbagai ilmu. Ilmu-ilmu yang dipelajari di pondok pesantren merupakan hasil perenungan ulama terhadap ayat qauliyah berupa firman Allah yang termaktub dalam mushaf Al-Qur’an. Lalu lahirlah ilmu nahwu, sharaf, balaghah, ulumul Qur’an, tafsir, dan lain sebagainya.

Adapun ayat kauniyah dipelajari oleh para ulama dan ilmuwan, lalu menjadi ilmu-ilmu yang kini dikenal dan diajarkan di sekolah, seperti biologi, fisika, kimia, sosiologi, antropologi, sejarah, dan lain-lain. Jadi, mempelajari ayat qauliyah dan kauniyah merupakan ikhtiar untuk memahami ayat-ayat Allah.

Berdasarkan definisi ilmu dari KH. Ahmad Rifa’i, syarat pertama dari ilmu adalah ketika manusia menemukan kebenaran sesuatu dengan hatinya (utawi ‘ilm kelawan sabeneré tingal atiné), baik dalam bentuk ayat qauliyah maupun kauniyah.

Mengapa dengan hati, bukan dengan akal atau indera? Karena menurut beberapa ulama, akal justru terletak di dalam hati. Dalam banyak keterangan dalam kitab Tarajumah, Mbah Rifa’i sering menyebut istilah “akal ruhani”.

Akal bisa diibaratkan seperti perangkat lunak (software), sedangkan hati adalah perangkat kerasnya (hardware). Yang “menginstal” akal ke dalam hati adalah Allah SWT. Indera berperan mendukung penyerapan data untuk diolah oleh akal.

Sudah jelas, kambing yang tidak berakal tidak akan bisa membaca dan memahami ayat qauliyah maupun kauniyah. Al-Qur’an berfungsi sebagai hidayah, pembeda, pengingat, dan sumber ilmu hanya jika ada akal. Tanpa akal, Al-Qur’an tidak bisa menjalankan fungsinya. Coba saja serahkan mushaf Al-Qur’an kepada kambing, sapi, atau binatang lainnya yang tidak memiliki akal—apa gunanya?

Saya belum pernah mendengar ilmu tentang ayat qauliyah maupun kauniyah lahir dari makhluk yang tidak berakal. Semua ilmu lahir dari rahim akal. Ilmu nahwu dan sharaf, misalnya, berasal dari gagasan ilmuwan seperti Ali bin Abi Thalib dan dirumuskan oleh Abu Aswad ad-Du’ali. Para mufasir awal seperti Ibnu Abbas juga menggunakan akal dalam memahami ayat-ayat. Semua penggagas ilmu menemukan ilmunya melalui proses mengakali (memikirkan) ayat-ayat Allah tersebut.

Sayangnya, dalam budaya masyarakat Indonesia, kata “mengakali” justru berarti “mencurangi”, sehingga proses berpikir yang semestinya melahirkan ilmu menjadi tidak dihargai.

Syarat kedua dari ilmu adalah menemukan hakikat keadaan sesuatu (nemu sawiji kahanan kelawan satemené). Siapa yang mengetahui hakikat segala sesuatu? Hanya Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan, al-ḥaqqu min rabbikum — bahwa kebenaran yang hakiki hanya dari Allah. Manusia hanya berikhtiar terus-menerus mencarinya. Yang ditemukan hanyalah potongan-potongan kebenaran yang dirangkai sehingga tampak seolah-olah itu hakikat.

Maka, pencarian terhadap hakikat tak pernah selesai. Hakikat sejati hanya bisa ditemukan ketika seseorang telah kembali kepada Tuhan-nya. Kalimat “menemukan hakikat sesuatu” adalah motivasi agar manusia terus mencari kebenaran, yang pada akhirnya akan mengantarkannya pada penyatuan dengan Allah (tauhid). Setelah bersatu dengan Allah, barulah manusia dapat merasakan hakikat sesuatu. Sebab, pada akhirnya, yang benar-benar hakiki hanyalah Allah. Selain-Nya akan sirna.

Syarat ilmu berikutnya adalah lan weruh maleh atiné ing kamaqsudané (dan hati juga mengetahui maksud dari sesuatu itu). Maksud ini berkaitan erat dengan asal-usul dan tujuan. Dalam khasanah Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan).

Pertanyaannya: dari mana kita berasal, dan ke mana tujuan kita? Dalam Al-Qur’an disebutkan: fa’aina tadzhabun (mau ke mana kalian pergi?) dan dijawab dengan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un — sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.

Jika dalam logika dikenal hukum sebab-akibat, maka Allah adalah asbabul musabbab (penyebab segala sesuatu). Dalam tradisi keilmuan Jawa, Allah disebut sebagai dalang dari semua lakon kehidupan. Maka tugas manusia adalah menjadi hamba (abdi), walaupun Allah tak pernah memperbudak makhluk-Nya. Ia selalu penuh kasih dan sayang. Kita disebut hamba karena lakon hidup ini bukan berdasarkan keinginan kita, tapi sudah menjadi skenario-Nya.

Nabi Muhammad pun pernah menangis saat menggendong Sayyidina Husain karena mengetahui bahwa cucunya kelak akan dibantai. Beliau juga tahu Sayyidina Hasan akan menjadi juru damai. Sehingga kita kenal pada masa Sayyidina Hasan terukir perdamaian yang ditandai dengan penyerahan kekhalifahan ke tangan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Pengetahuan Kanjeng Nabi tentang masa depan menunjukkan bahwa skenario sandiwara kehidupan sudah ditulis oleh Allah, SWT di Laukhil Makhfudz. Kita hanya sebatas menjalani dengan kerelaan, radliyallahu ‘anhu waradlu’anhu. (Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepadanya).

Ujung dari mengetahui maksud adalah kerelaan. Dalam kerelaan itulah letak surga. Dalam segala lakon kehidupan, suka-duka, pahit-manis, semuanya akan terasa sama jika hati sudah ridha atas ketentuan-Nya. Ridha terhadap qadha dan qadar adalah tanda bahwa seseorang telah memahami maksud penciptaan dirinya.

Ketika Nabi dihina dan dilempari batu di Thaif hingga berdarah, beliau hanya berkata: in lam yakun bika ‘alayya ghadlabun fala ubāli — “Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tak peduli.” dalam keadaan segetir apapun, asalkan Allah tidak marah, asalkan Allah ridlo kepada kita, itu tidak masalah. Maka itulah intisari dari lan weruh maleh atiné ing kamaqsudané.

Karena itu, yang terpenting dalam hidup bukanlah keinginan untuk menjadi ini atau itu, melainkan memahami kehendak Allah dan mengikutinya. Ia harus mengetahui perannya di dunia menurut kehendak-Nya. Kata khalifah berasal dari khalafa yang berarti “di belakang”, artinya mengikuti Allah, melalui Rasul-Nya dan para pewarisnya. Kita semua adalah khalīfatullāh fīl-arḍ. Maka, dalam menjalani hidup ini, jangan sampai menyimpang dari arah menuju kepada-Nya.

Metode Pembelajaran Menurut Kh. Ahmad Rifa’i

Sudah beberapa tahun masyarakat Rifa’iyah mendirikan lembaga pendidikan formal, tetapi hingga kini kita belum juga mempelajari konsep ilmu pendidikan menurut KH. Ahmad Rifa’i. Mengapa harus menurut KH. Ahmad Rifa’i? Karena sebutan “Rifa’iyah” itu sendiri merujuk kepada para murid KH. Ahmad Rifa’i. Kesadaran keagamaan para murid Syaikh Rifa’i termanifestasi dalam berbagai aspek, salah satunya adalah dalam bentuk lembaga pendidikan Madrasah.

“Madrasah” merupakan istilah yang sudah akrab di masyarakat Indonesia. Kata ini berasal dari bahasa Arab mudarasatun. Jika digunakan sebagai metode pembelajaran, mudarasatun lebih cocok diterapkan di sekolah setingkat TK dan MI. Dalam istilah Jawa, mudarasatun dikenal sebagai deres. Mendaras adalah aktivitas mendengar, menyimak, menirukan, dan membaca berulang-ulang. Aktivitas ini belum sampai pada metode ta’lim (mempelajari) atau mubahatsah (membahas), sebagaimana disebutkan oleh Mbah Rifa’i dalam kitab Abyānul Khawāji.

Jika metodenya mudarasatun, maka tempatnya disebut madrasah, gurunya disebut mudarris, dan aktivitas belajarnya disebut tadris. Jika metodenya ta’lim, tempatnya disebut ma’lamah, gurunya mu’allim, dan yang dipelajari adalah ‘ilm. Jika metodenya ta’rif, tempatnya disebut ma’rifah, gurunya adalah para ‘arif atau mu’arif, dan hasilnya adalah ma’rifat. Masih ada metode lainnya seperti ta’dib, tadabbur, tafakkur, dan tadzakkur.

Namun, jika kita sepakat tetap menggunakan istilah “madrasah”, itu juga tidak salah. Sebab, meskipun usia siswa madrasah bisa mencapai 18 tahun, mereka tetap sering menggunakan metode mendaras. Buktinya, guru-guru masih sering menyuruh siswa membaca di depan kelas dan mengulanginya untuk dihafalkan.

Setuju pada istilah “madrasah” juga sah-sah saja, karena dalam proses belajar-mengajar di madrasah sering digunakan berbagai metode. Jadi, selain ta’lim muta’allim, kita juga melakukan mudarasah. Maka, sebaiknya kita mulai merujuk kepada apa yang disampaikan oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Abyānul Khawāji:

مُذَاكَرَةٌ مُدَارَسَةٌ مُطَالَعَةٌ مُحَافَظَةٌ مُبَاحَثَةٌ مُرَاجَعَةٌ

اُتَوِيْ حَقَىْ عِلْمُ اَمْرِهْ مُنْفَعَةْ اَخِرَةْ

إيْكُوْ فَدَ سِنبُوتْ فَعْكرَانَىْ شَرِيْعَةْ

لَنْ فَدَ دِدرسْ عِلْمُ قَدَرْ قُوَةْ

لَنْ تِعَالْ تِتِعَالَنْ كِتَابْ كَعْ دِاِعْتِمَادْ

لَنْ فَدَ دِحَفَظَاكنْ اِيْلِعْ كبَاطِنَنْ

لَنْ فَدَ بِجَارَ عِلْمُ اَمْرِهْ كَبنرَانْ

لَنْ رُجُوعْ نَلِيْكَا عكُوْنَى كسَلَهَن

اَنُوةْ مَارِعْ كَعْ بنرْ دَلِيلْ فَعْكرَانْ

اَفَا حُجَهَىْ عَالِمْ فَاسِقْ دِجَوِسَنْ

تِنَاكُوْنَنْ بَيْسُوءْ اَخِرَةْ تنتُوَانْ

Kebenaran ilmu agar bermanfaat hingga akhirat
Dengan menyebutkan ketentuan syariat
Dan didaras sesuai kekuatannya
Dan dikaji kitab yang sudah diyakini

Lalu dihafalkan hingga meresap ke dalam batin
Dibahas bersama untuk mencapai kebenaran
Dirujuk kembali saat mengalami kesalahan
Mengikuti kebenaran dan dalil yang jelas
Menolak hujah dari ulama fasik
Agar tidak tersesat di akhirat kelak

Bait syair di atas merupakan metode sinau bareng (belajar bersama) yang diusulkan KH. Ahmad Rifa’i. Untuk menggapai ilmu, seseorang harus menempuh tahapan yang berurutan: dimulai dari menyebutkan, kemudian mendaras, mengeksplorasi, menghafal, membahas, dan merujuk kepada sumber yang terpercaya—semuanya demi mencapai kebenaran.

Kata mudzakarah (menyebutkan) merujuk pada kisah ketika Nabi Adam diciptakan oleh Allah. Para malaikat ‘meramalkan’ bahwa manusia akan merusak bumi dan menumpahkan darah. Allah menjawab bahwa Dia mengetahui apa yang mereka tidak ketahui. Kemudian Allah menyuruh Nabi Adam untuk menyebutkan beberapa nama benda kepada para malaikat, karena Adam sudah diajari nama-nama tersebut (lihat QS. Al-Baqarah: 33):

قَالَ يَأدَمُ أنْبِئُهُمْ بِأسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أنْبَأهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّىْ أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَواَتِ وَالْأرْضِ وَأَعْلَمُ مَاتُبْدُوْنَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ

“Allah berfirman: “Hai, Adam! Sebutkanlah kepada mereka nama-nama benda ini….”

Itulah metode pembelajaran pertama yang dikenalkan Allah kepada manusia, yaitu menyebutkan nama-nama (asma’). Metode ini juga menjadi naluri ibu dalam mengajarkan anak balita mereka dengan cara menyebutkan nama: ibu, ayah, simbah, dan sebagainya. Maka, anak tangga pertama dari metode pembelajaran adalah mudzakarah.

Metode berikutnya adalah mudarasah, yang dalam masyarakat Islam di Jawa dikenal dengan istilah deres. Deres adalah metode pembelajaran dengan melihat, menyimak, menirukan, dan mengulang-ulang bacaan. Pada tahap ini, berpikir dan berlogika belum terlalu menonjol. Beberapa indera yang terlibat antara lain: mata untuk membaca, telinga untuk menyimak, dan mulut untuk mengucap. Karena sifatnya berulang-ulang (wola-wali), metode ini memerlukan waktu yang panjang (thūlu zamānin), juga kesabaran dan ketelatenan.

Dalam tradisi deres, metode yang paling cocok untuk mendampingi adalah sorogan, yaitu pembelajaran antara guru dan murid yang berhadapan dengan kitab di tengah mereka. Guru membaca, murid menyimak dan menirukan. Setelah itu, murid mengulang-ulang kembali pelajaran yang diterimanya.

Metode pembelajaran berikutnya adalah muthāla‘ah. Jika boleh saya artikan, muthāla‘ah adalah eksplorasi—penjelajahan terhadap bahan-bahan. Seorang santri, untuk menjawab satu pertanyaan, kadang tidak cukup hanya membuka satu kitab, ia perlu menjelajahi beberapa kitab. Proses penjelajahan inilah yang disebut muthāla‘ah atau eksplorasi.

Seperti seorang koki yang tidak bisa memasak tanpa terlebih dahulu menjelajahi berbagai pengetahuan tentang bahan-bahan masakan. Tanpa rempah dan bumbu yang cukup, masakan akan terasa hambar. Demikian pula dalam dunia ilmu—tanpa pengetahuan dan pengalaman yang cukup, hasilnya tidak maksimal.

Metode pembelajaran selanjutnya adalah muḥāfaẓah (menghafal). Dalam tradisi pesantren, menghafal bukan hanya menyimpan informasi dalam pikiran, tetapi lebih jauh lagi, menanamkannya ke dalam batin. Itulah mengapa istilah yang digunakan adalah “eling kabatinan” — bukan sekadar hafal, tapi meresap ke dalam jiwa. Hafalan ini menjadi bekal untuk memahami dan membahas ilmu lebih lanjut. Bahkan, ilmu yang tidak dihafal dan tidak masuk ke dalam batin akan mudah hilang, tidak membekas, dan tidak berpengaruh dalam perilaku serta pemikiran seseorang.

Setelah muḥāfaẓah, tahap berikutnya adalah mubāḥatsah (membahas). Di sinilah proses berpikir kritis dimulai. Diskusi, tanya jawab, dan musyawarah menjadi bagian utama dalam menemukan dan menguji kebenaran suatu ilmu. Dengan mubāḥatsah, ilmu yang telah didapat tidak hanya dihafal, tapi juga dipahami, diuji, dan dikembangkan. KH. Ahmad Rifa’i menekankan pentingnya mubāḥatsah karena dengan metode ini, para penuntut ilmu akan sampai pada kebenaran yang hakiki, atau setidaknya mendekati kebenaran.

Kemudian tahap terakhir dalam metode ini adalah murāja‘ah (merujuk kembali). Tahapan ini penting dilakukan ketika seseorang menemui kekeliruan atau merasa ragu terhadap pemahaman sebelumnya. Murāja‘ah berarti kembali kepada sumber yang sahih, kepada dalil, kitab, atau otoritas ilmu yang terpercaya. Hal ini penting agar seseorang tidak tersesat dalam memahami agama atau ilmu lainnya. Dalam murāja‘ah juga terkandung semangat rendah hati—pengakuan bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan dan perlu terus belajar serta memperbaiki diri.

KH. Ahmad Rifa’i juga mengingatkan bahwa kebenaran ilmu tidak bisa hanya bersandar pada argumen dari orang alim yang fasik. Karena itu, setiap pelajar harus memiliki sikap kritis dan tidak sembarangan menerima ilmu dari siapa saja. Tujuannya adalah agar tidak sesat di akhirat, sebagaimana bunyi syairnya: tinakunan bésoé akhirat tentu’an — “agar tidak binasa di akhirat kelak”.

Dari seluruh metode tersebut—mudzākarah, mudarasah, muṭāla‘ah, muḥāfaẓah, mubāḥatsah, dan murāja‘ah—terlihat bahwa KH. Ahmad Rifa’i memberikan satu pola pembelajaran yang tertib, bertingkat, dan menyeluruh. Dimulai dari mengenal, mendalami, menyimpan, berdiskusi, hingga mengevaluasi ilmu. Ini bukan sekadar teori, tapi juga metode pendidikan yang sangat relevan bahkan hingga hari ini.

Demikianlah penjabaran mengenai maksud ilmu dan metode pembelajaran menurut KH. Ahmad Rifa’i. Pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari peran hati, akal, dan indera. Ia harus didekati dengan niat yang benar, metode yang tertib, dan jiwa yang ridha terhadap ketentuan Allah. Ketika semua itu dijalani dengan sungguh-sungguh, maka ilmu bukan hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga menjadi jalan menuju Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Baca Sebelumnya: Percikan Ilmu Pendidikan KH. Ahmad Rifa’i (4)


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: IlmuKH. Ahmad RifaiTarajumah
Previous Post

K. Djazuli dan Masyayikh: Pilar Tarajumah Rifa’iyah dari Sundoluhur Pati

Next Post

Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 7: Ilmu Ushuluddin – Iman dan Kedudukannya

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 7: Ilmu Ushuluddin – Iman dan Kedudukannya

Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 7: Ilmu Ushuluddin – Iman dan Kedudukannya

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id