Membaca kitab-kitab karya Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad (wafat 1870 M) tentu akan banyak menemukan syair-syair nadzam Jauharatut Tauhid, buah karya Syekh Ibrahim al-Laqani (wafat 1631 M). Hal ini wajar karena sebagai ulama yang memegang prinsip tauhid salaf, pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad juga terpengaruh oleh ulama-ulama Sunni Asy’ariyah. Sebagai buktinya, dalam kitab Nadzam Irsyad, Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad menjelaskan perihal kewajiban mengikuti orang saleh serta meninggalkan bid’ah (Lihat: Nadzam Jauharatut Tauhid 139).
فَتَابِعِ الصَّالِحَ مِمَّـنْ سَلَفَـا – وَجَانِـبِ الْبِدْعَـةَ مِمَّـنْ خَلَـفَـا
Mongko anuto siro ing wong soleh iku
Satengah saking wong dihin kang adil laku
Lan angedohno siro saking bid’ah iku
Ojo anut ing satengah saking wong kari olo laku
(Maka ikutilah orang-orang saleh
Sebagian dari generasi dulu yang memiliki perilaku adil
Dan jauhilah dari kebid’ahan
Jangan ikuti generasi akhir yang memiliki perilaku jelek)
Mengikuti salafuna sholihun (generasi-generasi terdahulu yang saleh) merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Bagaimana tidak, mereka (orang-orang saleh) dari generasi terdahulu senantiasa berpegang teguh terhadap Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas serta meninggalkan perkara bid’ah. Sebagai bukti, dalam bait selanjutnya (masih di dalam kitab Irsyad), Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad menegaskan:
Dalil bener iku kawilang patang perkoro
Qur’an hadits ijma’ qiyas kiniro
Lan liyane dalil ingkang patang perkoro
Iku bid’ah qobihah kang olo wicoro
(Dalil yang benar itu berprinsip empat perkara
Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas penjelasannya
Dan selain dari dalil keempat perkara
Itulah bid’ah qobihah yang jelek jelasnya)
Pemahaman bid’ah yang dijelaskan Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad sejalan dengan pemahaman ulama salaf. Arti bid’ah tidak sesempit penjelasan “sesuatu yang tidak dilakukan Nabi”, melainkan “sesuatu yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas sebagai pedoman Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah wal Maturidiyah”. Lebih detail lagi, Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad menjelaskan tingkatan bid’ah dalam bait selanjutnya (masih di dalam kitab Nadzam Irsyad):
Ono bid’ah iku ngeggoni kafir tinamune
Lan anakalane bid’ah fasiq gedean dosane
Lan anakalane bid’ah makruh arane
Lan bid’ah harom wus kasebut ngarep partelane
(Ada bid’ah yang pelakunya menjadi kafir
Adakalanya bid’ah menjadikan fasik besar dosanya
Adakalanya bid’ah makruh namanya
Dan bid’ah haram sudah disebutkan penjelasannya)
Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad juga menjelaskan pengertian Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas sebagai pedoman Ahlussunnah Asy’ariyah. Sebagai bukti, dalam bait selanjutnya (masih dalam kitab Nadzam Irsyad) dengan bahasa yang mudah dipahami, beliau mengatakan:
Qur’an iku pengendikane Gusti Allah
Lan hadits iku pengendikane Rosulullah
Lan ijma’ iku qoule ulomo ahli sunnah
Lan qiyas iku ngunde-ngunde saking tetelu winarah
(Al-Qur’an itu perkataan Allah
Hadis itu perkataan Rasulullah
Ijma’ itu perkataan Ulama Ahlussunnah
Dan qiyas itu analogi dari ketiga yang dijelaskan)
“Saleh” tidak diukur dari seberapa lama seseorang belajar di pesantren, tidak pula diukur dari seberapa banyak kitab yang ia hafal dan atau pahami, serta tidak pula diukur dari busana maupun aksesori yang dikenakan. Akan tetapi, kriteria seseorang dikatakan “saleh” menurut Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad sebagaimana dijabarkan di dalam bait selanjutnya (masih di dalam kitab Irsyad):
Aran sholeh iku sifat adil ginawaruhan
Yoiku ora gawe setengah duso gede kedhohiran
Lan ora ngekelaken satengah duso cilik linakonan
Iku sekurang kurang derajat sholih kelakuan
(“Saleh” yaitu berprinsip sifat adil yang dipegang teguh
Yaitu tidak melakukan satu pun dosa besar yang tampak
Dan tidak mengulang-ulang dosa kecil yang dikerjakan
Itulah sekurang-kurangnya derajat saleh dalam perbuatan)
Semoga dengan rahmat dan hidayah Allah, kita semua senantiasa dikumpulkan bersama orang-orang saleh, mencintai orang-orang saleh, dan semoga kelak anak cucu kita dijadikan sebagai hamba-hamba yang saleh.
Muhammad Nawa Syarif, Sekretaris Jenderal PP AMRI
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Ahmad Zahid Ali