Pekalongan siang itu bukan hanya panas oleh cuaca, tetapi juga oleh kobaran semangat yang terasa menghangatkan hati. Dalam forum Silaturahim Nasional Umahat Rifa’iyah, tampak hadir generasi penerus dari perjuangan panjang KH. Ahmad Rifa’i. Mereka datang bukan sekadar hadir, tetapi membawa jiwa yang menyala: ingin belajar, melanjutkan, dan meneruskan api dakwah yang sudah dinyalakan sejak abad ke-18.
Adalah Dr. KH. Mukhlisin Muzarie, M.Ag yang menyampaikan pesan penting di atas mimbar: “Umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, wajib berjuang menegakkan Islam.” Ia menekankan bahwa dakwah bukan hanya urusan kiai atau ustaz, tetapi tugas seluruh umat. Perempuan pun tak ketinggalan, karena mereka memiliki peran khas yang tak tergantikan.
Namun, ada satu hal yang membedakan gerakan Rifa’iyah dari banyak arus Islam lainnya: keberanian KH. Ahmad Rifa’i untuk menuliskan ajaran-ajaran Islam dalam bahasa Jawa. Di tengah arus Arabisasi ajaran, beliau justru memilih untuk membumikan Islam ke dalam bahasa dan budaya masyarakat. Itulah kenapa muncul istilah kitab tarajumah—bukan semata-mata karena menerjemahkan dari kitab Arab, tetapi karena menyusun sendiri dari kedalaman ilmu dan keluasan jiwa dengan berbahasa Arab Pegon.
Kitab-kitab itu tidak main-main. Mulai dari fikih ibadah, muamalah, munakahat, sampai tasawuf dan amar ma’ruf nahi munkar—semua ditulis dengan gaya bahasa rakyat, agar bisa dipahami, diamalkan, dan diwariskan.
“Ini bukan sekadar warisan kitab. Ini adalah warisan cara berpikir, cara menyampaikan, dan cara memperjuangkan nilai,” ujar KH. Mukhlisin dengan suara lantang namun penuh kelembutan.
Lebih menyentuh lagi, ketika beliau mengingatkan bahwa para murid KH. Ahmad Rifa’i tersebar hingga luar Jawa: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan hingga ke pulau-pulau kecil di Nusantara. Artinya, semangat membumikan Islam dengan pendekatan lokal bukanlah bentuk keterbelakangan, melainkan kekuatan strategi dakwah yang luar biasa.
KH. Mukhlisin juga menyoroti peran para perempuan dalam perjuangan ini. Ia menegaskan bahwa perempuan bukan pelengkap penderita, melainkan bagian penting dari tubuh perjuangan itu sendiri. Tak sedikit majelis-majelis taklim, kegiatan sosial, bahkan organisasi pemudi yang digerakkan oleh kaum ibu Rifa’iyah.
“Mereka adalah lentera-lentera kecil yang terus menerangi desa-desa. Mereka bukan selebritas di layar kaca, tapi pahlawan di balik cahaya ilmu yang menyebar ke pelosok negeri,” ucapnya haru.
Kini, di era media sosial dan gempuran informasi cepat, semangat Rifa’iyah justru makin dibutuhkan. Dunia butuh pendekatan yang membumi. Umat butuh dakwah yang tak menggurui. Kita semua butuh warisan hikmah yang mengerti hati dan bahasa kita.
Sebab, seperti pesan penutup dari KH. Mkuhlisin: “Kita semua adalah murid-murid dari KH. Ahmad Rifa’i. Dan murid sejati adalah yang melanjutkan perjuangan gurunya, dengan melestarikan ajarannya dengan metodenya masing-masing.”
Referensi: https://youtu.be/U1mniPNZffI?si=uK_lWA8Z_D2Y5GY9
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra