Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Ketika Rasa Syukur Mengubah Otak: Sains di Balik Kebahagiaan Sederhana

Tim Redaksi by Tim Redaksi
December 10, 2025
in Kolom
1
Rasa syukur

Seorang pria berdoa saat matahari terbit, melambangkan momen syukur dan perenungan. (Unsplash/negafolk)

0
SHARES
22
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

“Syukur tegese makna tarjamah tinutur, iku suka atine…” (KH. Ahmad Rifa’i: Abyan Al-Khawa’ij)

Setiap pagi, sebut saja nama perempuan muda: Nisa. Ia selalu ceria disambut oleh kucing-kucing piaraannya yang melompat kegirangan; yang kadang tiba-tiba berbaring di pangkuannya. Ia merasa bahagia setiap kali bisa berbagi makanan, perhatian, dan kasih sayang dengan binatang-binatang yang katanya “lucu” itu. “Ada kelegaan hati,” akunya, setelah memastikan kucing dalam keadaan kenyang, nyaman, dan hangat.

Bagi kebanyakan orang, mungkin hal ini hanya momen rutin. Tapi ternyata bagi Lazarus, seorang profesor psikologi di Florida International University, ini adalah pelajaran hidup tentang rasa syukur yang sederhana namun transformatif, rasa syukur yang bisa mengubah alur hidupnya.

Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan kekuatan luar biasa yang kini didukung oleh puluhan penelitian ilmiah. Rasa syukur, ternyata, bukan sekadar perasaan hangat di dada. Ia adalah kekuatan biokimia yang mampu merombak arsitektur otak kita—dan mengubah hidup.

Ketika Otak Menulis Ulang Dirinya Sendiri

Rachel Ritchie, kolega Lazarus yang juga mengajar psikologi di FIU (Florida International University), menjelaskan fenomena yang menakjubkan:
“Mengalami rasa syukur benar-benar mengubah koneksi di otak kita. Ia membantu komunikasi jalur neurologis dan telah dikaitkan dengan tidur yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, dan regulasi mood yang lebih stabil.”

Ini bukan metafora. Riset neurobiologi menunjukkan bahwa ketika kita merasakan syukur, otak melepaskan hormon dopamin dan serotonin—dua neurotransmiter yang bertanggung jawab atas emosi positif. Lazarus, yang pernah menjabat sebagai Presiden National Association of School Psychologists, menyebutnya sebagai “hormon kebahagiaan” yang membuat kita merasa senang dari dalam.

Lebih jauh lagi, penelitian menemukan bahwa orang-orang yang rutin merasakan syukur memiliki kadar kortisol—hormon stres—yang lebih rendah. Fungsi jantung mereka lebih baik. Mereka lebih resilien (tangguh) dalam menghadapi kegagalan emosional. Bahkan studi menunjukkan bahwa menulis jurnal syukur atau sekadar memikirkan hal-hal yang kita syukuri dapat mengurangi rasa sakit fisik akibat cedera.

“Tidak ada efek negatif dari merasakan gratitude (syukur),” tegas Lazarus. “Yang ada hanya aspek-aspek positif bagi kita.”

Latihan Kebahagiaan yang Tak Pernah Berhenti

Namun mengapa sulit bagi kita untuk merasakan syukur? Ritchie, Profesor Pengajar Psikologi di Florida International University (FIU), punya penjelasannya: kita hidup dalam “model defisit.”

“Kita selalu mencoba menemukan apa yang salah dan memperbaikinya,” katanya. “Kita tidak berhenti untuk memikirkan apa yang sudah benar. Padahal ketika kita bisa mengubah perspektif (cara pandang), ketika kita bisa melihat semua yang benar dalam hidup kita, barulah kita bisa mengubah pandangan kita.”

Atau dalam bahasa sehari-hari, pandanglah selalu sesuatu dari sisi kebaikannya, bukan keburukan dan kekurangannya.

Ritchie menyebut ini sebagai “efek treadmill”—kita terus berlari mengejar pencapaian berikutnya. “Kita bilang pada diri sendiri, ‘Aku akan bahagia setelah lulus,’ atau ‘Aku akan bahagia setelah dapat pekerjaan baru.’ Kita tidak fokus pada apa yang memberi kita kegembiraan saat ini, di sini. Bukankah hidup ini sebuah karunia yang semuanya tak berlaku tanpanya? Dan itulah esensi gratitude: menghargai apa yang kita miliki.” Menghargai semua karunia dari Allah SWT.

Lazarus menambahkan contoh sederhana: “Bisa sesederhana ‘Ini pagi Minggu yang indah dan matahari bersinar,’ atau ‘Saya dapat tempat parkir yang bagus di kampus hari ini.’ Hal-hal kecil itu penting.”

Ketika penulis menanyakan kepada siswa-siswa MA Rifa’iyah Kedungwuni: “Apa pagi ini yang bisa kita syukuri?” Dijawab enteng siswa: “Alhamdulillah Pak, tadi saya BAB kaki masih bisa nekuk.” Disambut gelak tawa teman-temannya.

Tiga F yang Menyelamatkan Hidup

Dengan pengalaman panjangnya dalam konseling korban trauma, Lazarus menemukan pola yang konsisten: mereka yang mampu bangkit dari keterpurukan hampir selalu berpegangan pada “tiga F”—Family (keluarga), Friends (teman), dan Faith (iman).

“Ketika situasi menjadi sulit, ketiga hal ini adalah penyelamat yang krusial,” ujarnya. “Kami melihat faktor-faktor ini berulang kali. Mereka sangat penting untuk membantu orang melihat kebaikan dalam hidup mereka dan mengatasi kesulitan.”

Ritchie menguatkan pandangan ini dengan menambahkan dimensi lain: tujuan hidup.
“Gratitude terkait erat dengan memiliki sense of purpose (kesadaran akan makna dan arah hidup),” katanya. “Agama memberi kita makna hidup, seperangkat prinsip panduan. Begitu juga dengan tindakan kebaikan.”

Penelitian menunjukkan orang yang terlibat dalam altruisme—membantu orang lain tanpa pamrih—lebih bahagia dan lebih resilien. Mereka bisa bangkit lebih cepat dari pengalaman negatif. Dan ini semua terkait dengan rasa syukur.

“Bisa bervolunteer di dapur umum, membakar sate untuk orang lain, menanam pohon, meninggalkan catatan untuk orang yang kita cintai di pagi hari,” Ritchie mencontohkan. “Hal-hal ini memberi kita ledakan kegembiraan.”

Dalam kelasnya tentang sains kebahagiaan, Ritchie kerap memberi tugas unik: menulis surat terima kasih kepada seseorang yang berdampak positif dalam hidup mereka, lalu membacakannya langsung.

“Mengucapkan terima kasih dan melihat orang itu merespons dengan bahagia akan memberi Anda kegembiraan. Dan kemudian Anda merasa bersyukur.”

Melatih Otot Syukur

Kabar baiknya, syukur adalah keterampilan yang bisa dipelajari—bahkan oleh para pesimis sekalipun.

“Syukur itu seperti otot,” kata Lazarus. “Semakin kita berlatih bersyukur, semakin kita terhubung dengan manfaatnya. Di awal mungkin butuh usaha lebih. Tapi seiring waktu, ini menjadi kebiasaan.”

Keduanya merekomendasikan memulai dari hal kecil. Berikut beberapa cara praktis yang didukung riset:

  1. Identifikasi tiga hal baik sebelum tidur. Penelitian menemukan bahwa dengan berhenti sejenak dan menghargai tiga hal baik yang terjadi setiap hari, akan membantu tidur lebih nyenyak. Bagi orang yang beragama, ini bisa dilakukan lewat doa, zikir. Bagi yang tertarik meditasi, Lazarus menyarankan untuk bermeditasi tentang apa yang disyukuri.
  2. Tulis jurnal syukur. Catat apa pun yang Anda syukuri—orang, alam, makanan, apa saja yang terasa seperti berkah.
  3. Terlibat dalam komunitas. Temukan tempat untuk bervolunteer. Di tengah kesibukan Miami, Ritchie yakin ada banyak organisasi yang membutuhkan kontribusi—dan memberi balik kegembiraan serta rasa syukur.
  4. Buat toples syukur. Gunakan kartu indeks atau kertas kecil, tulis sesuatu yang Anda syukuri setiap hari, dan masukkan ke dalam toples. Di akhir minggu, Anda akan terkejut melihat berapa banyak hal baik yang Anda alami.
  5. Tulis surat terima kasih. Rasakan betapa hebatnya menuliskan apresiasi di atas kertas, lalu betapa gembiranya ketika Anda membuat orang lain bahagia dengan rasa syukur Anda.
  6. Jangan lupa berterima kasih pada diri sendiri. “Memperlakukan diri sendiri dengan baik akan membantu Anda mengembangkan keterampilan syukur,” kata Lazarus. “Anda tidak perlu sempurna bersyukur sepanjang waktu, cukup sadari bahwa hal-hal berjalan dengan baik. Anda bisa berbelas kasih pada diri sendiri.”
  7. Ingat tujuan Anda. Ritchie menyimpan folder berisi catatan terima kasih dari mahasiswa-mahasiswanya selama bertahun-tahun. “Saya menyebutnya Happiness Folder,” ujarnya. “Saya gunakan itu sebagai pengingat mengapa saya melakukan ini. Itu membantu saya terus berjalan.”

Dua Kata Ajaib

Di penghujung percakapan, Lazarus dan Ritchie menekankan satu hal sederhana yang kerap terlupakan: mengucapkan terima kasih.

Dua kata itu mungkin tampak remeh. Tapi di dalamnya tersimpan kekuatan untuk mengubah biokimia otak, memperbaiki hubungan, mengurangi stres, meningkatkan kesehatan jantung, dan pada akhirnya—mengubah cara kita memandang hidup.

Shiro, Kucing Anggora milik Nisa, mungkin tidak tahu tentang hormon dopamin atau serotonin. Tapi setiap kali ia melompat menyambut tuannya, ia mengajarkan pelajaran paling fundamental tentang kebahagiaan: bahwa hidup ini penuh dengan momen-momen kecil yang layak disyukuri.

Dan rasa syukur dimulai dari sana—dari hal-hal kecil, sederhana, yang jika kita sadari, bisa mengubah segalanya.

Referensi

Gisela Maria Valencia, An Attitude of Gratitude: What Science Says About Being Thankful, 2024 (news.fiu.edu)


Penulis: Gus Asep
Editor: Yusril Mahendra

Tags: bahagiakebahagiaanpsikologirasa syukurSyukurterima kasih
Previous Post

Mubahalah: Sumpah Laknat dalam Syariat Islam—Sejarah, Tafsir, dan Tinjauan Fikih

Next Post

Khutbah Jumat: Mengelola Rasa Kehilangan dengan Iman

Tim Redaksi

Tim Redaksi

Next Post
Khutbah Jumat: Mengelola Rasa Kehilangan dengan Iman

Khutbah Jumat: Mengelola Rasa Kehilangan dengan Iman

Comments 1

  1. fly88bet says:
    2 days ago

    Just signed up for fly88bet. Anyone else using it? I’m hoping to WIN BIG on fly88bet

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id