Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Tokoh

Meneladani Tokoh: Masyayikh Rifa’iyah Talun Pati

Tim Redaksi by Tim Redaksi
May 18, 2025
in Tokoh
0
Meneladani Tokoh: Masyayikh Rifa’iyah Talun Pati
0
SHARES
104
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

KH. ABU BAKAR

Masa Kecil
Beliau bernama asli Syukur. Beliau mondok di Tenggeles, Kudus, selama kurang lebih tujuh tahun. Lalu beliau bekerja di bidang konveksi—istilah dahulu adalah saudagar—di Solo. Beliau menikah pada umur 25 tahun dengan orang Kudus, bernama Mbah Masturah, yang baru berusia 9 tahun.

Namun, beliau bisa berumah tangga dan berketurunan sejak sang istri berusia kurang lebih 11 tahun.

Beliau terkenal sebagai orang yang kaya. Menurut penuturan beberapa orang, penyebabnya secara lahiriah ada banyak, di antaranya adalah karena konveksi dan membuat pabrik langsung.

Saat beliau pulang ke rumah, ada beberapa teman yang ingin menitipkan uang dengan syarat sepersepuluh sebagai uang titip, karena saking banyaknya pembegal dan penyamun.

Dari hasil-hasil itu, beliau mampu membeli sawah dan pekarangan berhektar-hektar yang kemudian dibagi-bagikan kepada anak cucu hingga sekarang.

Beliau mempunyai beberapa anak: pertama, Mbah Musni, Mbah Musmirah, Mbah Musriah, Mbah Marfu’ah, Mbah Fatimah, Mbah Dahlan, dan Mbah Abdul Qadir.

Semua anak-anak ini kemudian menurunkan keturunan besar yang tersebar di Talun, Sunde, Tambak, dan Mbombong.

Keramat Mbah Abu Bakar
Pernah suatu hari, ada maling yang ingin nduduk (menggali) rumah beliau, tetapi malah keliru menggali jumbleng (WC). Si pencuri bingung sampai jam lima pagi. Sebagai seorang kekasih Allah Swt., tampak kesantunan Simbah.

Beliau lalu memberi makan dan minum kepada si pencuri. Bahkan, beliau memberi juga uang dan menyuruhnya pulang dengan ramah-tamah.

Sifat baik beliau yang mengikuti sunah Nabi Saw. adalah mencarikan mantu kepada anak-anak kecil perempuan beliau.

Beliau juga tidak mau memakai pembantu karena khawatir mereka melakukan dosa dengan pacaran.

Pernah suatu hari, saat musim ketigo, beliau ingin mengangsu air. Karena daerah waktu itu masih berupa hutan belantara, dengan izin Allah Swt., ada seekor macan yang datang menawarkan diri untuk mengangkut bejana yang penuh air.

Menurut Hj. Imranah, ini karena keberkahan beliau yang menetapi kewajiban dan meninggalkan seluruh maksiat.

Beliau juga pernah bertapa di kali kidul—sungai selatan Masjid Baitul Izzah—selama 41 hari. Ini beliau jalani sebagai riyadhah, ingin melepaskan diri dari kebutuhan dunia.

Di antara wirid yang beliau senangi adalah: Yā ḥayyu yā qayyūm (Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Dzat Yang Maha Tegak).

Beliau juga selalu mengistiqamahkan salat Duha dan Tahajud, meskipun pekerjaan dunia menumpuk menjadi beban.

Kelebihan Mbah Haji Abu Bakar adalah beliau dapat menghafal kitab Sittīn Masā’il, Miftāḥ, Mufīd, Tilmisānī, Dāsūqī, Samarkandī, Fatḥul Qarīb, Matn al-Ḥikam, serta Ummul Barāhin.

Ini menunjukkan bahwa beliau adalah ahli ilmu yang benar-benar cinta tulus terhadap ilmu.

Bagi beliau, kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa’i tidak perlu lagi dihafalkan karena saking mudahnya. Sehingga beliau bisa menguasainya dengan cepat dan luas.

KH. DAHLAN

Masa Kecil
Beliau lahir pada tahun 1913 M. Beliau ditinggal wafat Mbah Masturah ketika berusia 9 tahun dan ditinggal wafat Mbah Kyai Abu Bakar pada usia 25 tahun. Beliau menikah pada usia 35 tahun dengan Mbah Mardhi’ah.

Beliau wafat pada hari Ahad Kliwon, bulan Dzulqa’dah, tanggal sebelas, tahun 1988.

Masa Pencarian Ilmu dan Keramat Simbah
Beliau memulai belajar kepada sang ayah, KH. Abu Bakar, dan dilanjutkan kepada Kyai Muhammad Shaleh dengan jangka waktu kurang lebih lima tahun.

Beliau selalu melanggengkan ibadah dan wudu. Suatu hari, saat pembangunan masjid, ada beberapa pencuri yang mengambil kayu wakaf untuk tiang masjid—kurang lebih 21 pencuri—dan atas izin Allah Swt., mereka mengembalikan semua kayu itu karena kejadian dan bencana yang menimpa mereka.

Beliau juga mengarang kitab Pasholatan, yang berisi syarat, rukun, dan penjelasan penting mengenai salat. Kemudian, kitab ini dilanjutkan oleh putra kesayangan beliau, KH. Rois Yahya Dahlan.

Jiwa kiai beliau tampak dari kegiatan belajar-mengajar yang memenuhi waktu-waktu Mbah Dahlan—panggilan akrab KH. Dahlan.

KH. ABDUL QADIR

Masa Kecil
KH. Abdul Qadir saat kecil bernama Asrar. Beliau lahir tahun 1915 M. Saat berusia kira-kira 7 tahun, beliau ditinggal wafat oleh Mbah Masturah, ibu kandung beliau.

Saat berusia 22 tahun, beliau ditinggalkan oleh KH. Abu Bakar, ayah kandungnya. Beliau menikah pada usia 35 tahun dengan Mbah Salamah—istri tercinta—yang meninggal pada tahun 2011, bulan Sura, tanggal 22, hari Rabu Legi.

Pada usia 45 tahun, beliau dikaruniai anak perempuan bernama Hj. Imranah—yang menjadi istri KH. Rois Yahya Dahlan, pengasuh PP Miftahul Ulum—sebagai anak tertua. Kemudian selanjutnya dikaruniai tiga anak perempuan lagi dan satu putra bernama Bapak Mahyanuddin, yang meninggal pada tahun 2010, tanggal 23 bulan Maulid, hari Ahad Wage.

KH. Abdul Qadir menunaikan ibadah haji pada tahun 1989 M., pada saat banyak orang meninggal dunia di Terowongan Mekah. Sedikit sekali orang yang selamat, namun Allah Swt. menghendaki beliau termasuk di antara mereka. Ketika beliau selesai ibadah haji, namanya diganti menjadi KH. Abdul Qadir.

Beliau wafat pada tahun 2004 M., hari Ahad Kliwon, tanggal 22 bulan Safar.

Masa Pencarian Ilmu
Beliau memulai belajar dan mengenal ilmu agama kepada ayahandanya sendiri, yaitu KH. Abu Bakar, yang juga terkenal alim dan pandai dalam ilmu-ilmu syariat.

Kemudian, beliau melanjutkan belajar mengaji kepada Mbah Kyai Muhammad Shaleh, Lebosari, Kendal. Beliau mempelajari ilmu ushuluddin, fikih, dan tasawuf yang menyempurnakan kehambaan kepada Allah Swt.

Sebagai jiwa seorang ulama, beliau tidak merasa malu dalam belajar. Ini dibuktikan dengan proses belajar beliau kepada anak menantunya—KH. Rois Yahya Dahlan—dalam memahami kitab Fatḥul Mu‘īn, Abiyānul Ḥawāij, Fatḥul Qarīb, dan beberapa kitab ternama lainnya.

Bahkan, adat menarik yang tidak pernah beliau tinggalkan adalah mendengarkan dengan saksama pengajian Rebonan Abah (panggilan akrab KH. Rois Yahya), meskipun sambil bekerja.

KH. Abdul Qadir menganjurkan untuk menghafal surat-surat penting dalam Al-Qur’an. Misalnya, beliau sendiri hafal Ar-Ra‘d, Al-Wāqi‘ah, dan Al-Mulk.

KH. ROIS YAHYA DAHLAN

Masa Kecil
KH. Rois Yahya Dahlan adalah putra pertama KH. Dahlan. Saat kecil, beliau bernama lengkap Yahya Zahid. Beliau lahir pada tahun 1950 M., hari Selasa Legi, bulan Besar. Saat berusia 11 tahun, beliau melakukan sunah Nabi Saw., yaitu khitan.

Masa Pencarian Ilmu
Beliau sekolah SR di Talun. Setelah itu, beliau menuntut ilmu kepada ayahnya sendiri, dan melanjutkan kepada Kyai Muhammad Shaleh Kendal selama tiga bulan, kemudian sang kiai wafat.

Beliau lalu berpindah mondok ke Kretegan, kepada Mbah Bajuri, mengkhatamkan Abiyānul Ḥawāij sebanyak dua puluh satu kali, sekaligus beberapa kitab KH. Ahmad Rifa’i selama tujuh tahun.

Saat mondok di Kretegan, beliau hanya pulang ke rumah tiga kali. Pertama, saat tujuh bulan di sana; kedua, saat tiga tahun lebih delapan bulan karena sang ayah sakit keras; ketiga, saat sudah tiga tahun, karena didhawuhi sang kiai, “Ya, ngelmumu wis muk kuras… lha ketoké akalmu cerdas, kono kuwi mondok neng Kaliwungu tah ngendi sak karepmu… aku wis ora mampu ngulang kuwi maneh.”

Beliau melanjutkan ke Kaliwungu, belajar kepada Mbah Baidhawi. Saat itu, kepala pondoknya adalah Bapak Dimyati. Lalu beliau berpindah ke Sarang, mengaji kepada Mbah KH. Zubair—ayah KH. Maimun Zubair. Selanjutnya, beliau berpindah ke Magelang, kepada Kyai Hudhari, dan mempelajari kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.

Setelah itu, beliau beristiqamah di rumah, diberi amanah oleh Allah Swt. dengan adanya Pondok Pesantren Miftahul Ulum tercinta.

Karya dan Keramat Beliau
Tidak ada keramat yang lebih utama ketimbang istiqamah. Inilah satu alasan penting yang selalu dipegang teguh oleh Abah—sebutan akrab KH. Rois Yahya Dahlan—dalam menyemangati para murid untuk senantiasa belajar dengan tekun dan gigih.

Bukan berarti Abah tidak diberi keistimewaan oleh Allah Swt. dalam hal-hal yang bersifat mistik dan supranatural, atau di luar kenormalan manusia.

Cukup sudah kesaksian para peziarah dan mereka yang bertawassul mengadukan keluh kesah hidup mereka kepada beliau.

Seakan rumah berkahnya bagaikan pengadilan untuk memutuskan pertikaian. Atau seperti mahkamah untuk menetapkan hukum. Atau semisal masjid, tempat masyarakat beribadah dan menimba ilmu serta kesucian diri. Atau bagaikan bimbingan konseling untuk memecahkan masalah mereka.

Mereka sering mengadukan nasib yang kurang berpihak karena tercuri, dirampas, atau teraniaya dalam kekeluargaan. Kadang ada yang diuji Allah Swt. dengan kenakalan anak dan remaja yang mereka miliki. Ada pula yang dicoba Allah Swt. dengan kehilangan perhiasan, uang, harta benda, dan beberapa perkara berharga lainnya.

Atas izin Allah Swt., semua masalah mereka dapat terpecahkan dengan tuntas tanpa gangguan kembali.

Kata-kata mulia yang sering beliau sampaikan kepada anak-muridnya:
“Aku bukan seorang dukun atau paranormal. Aku hanya hamba Allah Swt. yang dianugerahi bisa salat, puasa fardu dan sunah, belajar bersama santri, dan menunjukkan kepada orang yang bertanya akan jalan dan jejak menuju Allah Swt. Begitu saja, tidak lebih. Adapun keistimewaan yang kalian lihat, itu murni dari-Nya. Aku tidak berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkannya sedikit pun.”

Sungguh mulia kata dan perilaku beliau. Selain sebagai bentuk pengungkapan ketawadukan beliau, juga sebagai ajaran bahwa kekeramatan dan kemuliaan sejati adalah beribadah dan berbuat untuk menuju Allah Swt. Adapun hal-hal lain adalah pemberian semata dari Yang Maha Kuasa.

Namun, meskipun banyak warga mengakui kelinuwehan Mbah Yahya—sebutan akrab warga kepada beliau—Abah bukanlah tipe orang sombong. Ini bukan berarti tidak berpendirian tetap.

Beliau bukan sombong, tetapi tegas. Sering mengalah, tetapi pemberani. Menghargai orang lain, tetapi bertekad kuat. Memahami lawan bicara, tetapi berkemauan keras. Pandai memuliakan tamu, tetapi tak segan mengingatkan mereka akan waktu salat. Pintar membaca situasi, tetapi masih ingat hak-hak Allah Swt. Bersabar, tetapi istiqamah.

Berikut lanjutan hasil penyuntingan bagian akhir dari dokumen biografi para masyayikh Rifa’iyah Talun, Pati:

Menghitung keramat dan akhlak mulia beliau bagaikan menghitung jumlah pasir di pantai, atau ombak saat laut pasang, atau jumlah rambut di jenggot yang lebat, atau jumlah bintang di malam yang indah—sangat sulit dan hampir tidak mungkin.

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh para murid dan anak-anak beliau adalah bahwa beliau memilih ṭarīqah ta‘lim wa ta‘allum ketimbang ṭarīqah-ṭarīqah lainnya. Meskipun beliau mengamalkan ṭarīqah Naqsyabandiyyah dan Qadiriyyah, beliau lebih berbangga dengan ṭarīqah pertama tadi. Menurut beliau, itulah cara terdekat untuk bertaqarrub kepada Allah Swt.

Sikap arif, bijaksana, dan terbuka beliau tampakkan saat kegiatan belajar, dengan membuka sesi tanya jawab, menerima pendapat, bahkan tidak segan-segan meminta argumentasi kuat dari para santri. Inilah kenangan yang tidak akan terlupakan oleh para alumni. Mereka merasa dihargai oleh beliau, seakan-akan ilmu mereka disejajarkan dengan ilmu beliau. Hal ini membuat mereka semakin yakin dan mantap dalam mengemukakan pendapat.

Di samping itu, Abah adalah satu-satunya ulama Rifa’iyah yang terkenal sangat produktif dalam menulis. Banyak karya yang telah beliau selesaikan maupun yang belum rampung. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa nashrul ‘ilm (penyebaran ilmu) beliau sangat kuat dan mengakar dalam jiwa dan tulang sumsum beliau.

Sejak menulis kitab Syarah Taḥyīrah, yang menjelaskan kandungan kitab Taḥyīrah karya KH. Ahmad Rifa’i dengan penguatan argumentasi akal, dalil Al-Qur’an, serta hadis.

Juga kitab Irsyādul Mu’minīn, yang menjelaskan ilmu tiga perkara dan diringkas dari karya-karya KH. Ahmad Rifa’i serta ditulis dalam bahasa Arab. Beliau ingin menunjukkan bahwa Syekhina bukanlah orang yang tidak berbahasa Arab, melainkan justru bertujuan memudahkan pemahaman bagi kaum santri Jawa khususnya, dan masyarakat umum pada umumnya.

Ada pula kitab Al-Qur’an wa al-Ḥadīts, yang menerangkan beberapa surat pendek dalam Al-Qur’an dan dikaitkan dengan hadis serta kisah-kisah menarik dari para ulama. Membaca kitab ini akan menitikkan air mata dan menimbulkan rasa berdosa dan hina, terutama bagi mereka yang memiliki hati penuh iman dan akhlak yang baik.

Beliau juga menulis kitab Busyra al-Karīm, yang membahas berbagai masalah fikih, akhlak, tasawuf, cara niat yang benar ketika belajar, tips menjadi anak saleh, kiat-kiat positif sebagai santri dan guru, serta berbagai permasalahan rumah tangga dan lainnya.

Kitab ini sangat layak dimiliki oleh mereka yang sering mengisi ceramah, memberi petuah, dan menyisipkan nasihat dalam setiap perkataannya.

Kemudian kitab Tamrīn al-Ikhwān, terdiri dari dua juz. Volume pertama membahas bab iman, ṭahārah, hingga kaitannya dengan salat. Volume kedua dimulai dengan bab zakat, puasa, dan haji, serta bab tasawuf dan hukum pidana Islam. Kitab ini sangat menarik karena menggunakan metode tasā’ul wa al-ajwibah (tanya jawab), sehingga pembaca akan lebih mudah memahami dan menambah ilmu.

Beliau juga menulis kitab Nāṣirul Murīd dan Risālah aṣ-Ṣalāh, yang khusus membahas bab-bab salat dan permasalahannya, dari salat fardu hingga salat sunah. Kitab ini sangat penting bagi mereka yang ingin mendalami bab salat, jamaah, qashar, jamak, serta syarat dan rukun salat.

Masih banyak kitab-kitab lain yang belum dituliskan di sini. Di samping itu, terdapat beberapa risalah kecil, cuplikan maqālah, surat-surat keterangan, wasiat, dan beberapa penjelasan penting baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hal ini menunjukkan tingkat produktivitas beliau yang diakui oleh banyak orang, baik dari kalangan dekat maupun jauh.

Beliau sering ndhawuhi:
“Ilmu jika tidak ditulis akan hilang ditelan masa. Murid bisa berkurang, dan santri kadang-kadang lupa-lupa ingat. Tapi buku dan catatan tulisan tidak akan pernah hilang sepanjang zaman dan akan abadi. Karena itu, tulislah ilmu kalian meskipun hanya anak cucu yang akan membacanya. Itu jauh lebih bermanfaat ketimbang kalian berkata, lalu ilmu itu hilang entah ke mana.”

Yang sangat mengagumkan adalah, di samping sebagai kiai, pengasuh, da’i, dan pemimpin masyarakat, beliau juga seorang ahli puisi dan syair. Bahkan beliau mampu melagukan Asmā’ul Ḥusnā dengan baḥr rajaz (satu jenis ritme dalam ilmu ‘arūḍ yang berwazankan mustaf’ilun enam kali).

Banyak sekali syair-syair hasil tulisan tangan beliau yang belum sempat dipublikasikan. Beliau sering percaya diri dan berkata:
“Aku hanya bertugas mengarang, nanti santri yang akan melagukannya.”

Dan benar, subḥānallāh!
Ada beberapa santri Abah yang berhasil menyebarkan syair-syair beliau di tengah masyarakat. Bagaikan guyuran hujan di tanah gersang, masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita.

Meskipun ada yang belum mengetahui siapa penciptanya, itu sudah cukup membuat beliau bangga di alam sana.

Kini telah beberapa tahun beliau wafat dan meninggalkan kita semua. Jasad beliau telah kembali ke bumi, tetapi tulisan beliau masih abadi di sisi kita.

Badan beliau telah dikubur, tetapi jasa-jasanya masih memijat leher para santri dan memicu semangat mereka.

Hanya ada satu kalimat untuk merelakan kepergian beliau:
“Kami ingin seperti Abah.”

Allāhummaj‘alnā mimman yuḥsyaru fī zumratih, āmiin…


Sumber: Hashshâdul ‘Ulûm
Penyusun: Asatidz PP. Miftahul Ulum
Percetakan: Maktabah Yahyawiyyah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: TalunTeladantokoh Rifa'iyah
Previous Post

Bahtsul Masa’il Rifa’iyah: Zakat Harta Gono Gini

Next Post

Khutbah Jumat: Njagi Jati Diri lan Pusaka Luhur ing Zaman Modern

Tim Redaksi

Tim Redaksi

Next Post
Khutbah Jumat: Njagi Jati Diri lan Pusaka Luhur ing Zaman Modern

Khutbah Jumat: Njagi Jati Diri lan Pusaka Luhur ing Zaman Modern

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id