Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Sejarah

K. Djazuli dan Masyayikh: Pilar Tarajumah Rifa’iyah dari Sundoluhur Pati

Rifa'iyah by Rifa'iyah
June 15, 2025
in Sejarah, Tokoh
0
K. Djazuli dan Masyayikh: Pilar Tarajumah Rifa’iyah dari Sundoluhur Pati
0
SHARES
35
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Jejak Nasab dan Warisan Leluhur K. Djazuli

K. Djazuli bin KH. Sidiq

K. Djazuli lahir pada tahun 1874 di Desa Sundoluhur, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Ia merupakan putra dari KH. Sidiq dan Nyai Kadimah, yang menurunkan keturunan yang berpengaruh luas dalam pengembangan ajaran Islam Tarajumah di Pantura bagian timur Jawa Tengah. Kakak sulungnya, K. Abdul Qohar, dikenal sebagai pendekar sekaligus penjaga setia dalam perjuangan dakwah sang adik, terutama saat menghadapi berbagai tekanan, termasuk dari PKI pada masa-masa genting. Sementara saudara-saudarinya seperti Mbah Toyyibah dan Mbah Maryam pun memiliki peran kultural dalam menghubungkan tali silaturahim antar ulama Tarajumah di wilayah lain seperti Gabus dan Pasuruan Kayen.

Dari Bekiking hingga Tepuro: Mencari Mursyid dan Ma’rifat

Sejak kecil, Djazuli tumbuh dalam didikan keilmuan ayahandanya yang merupakan murid langsung KH. Abdul Qohar Dk. Bekiking, Ds. Rejosari, Kec. Kangkung Kab. Kendal, salah satu murid utama KH. Ahmad Rifa’i. Mesikipun hanya belajar hanya beberapa kitab saja di Bekiking, KH. Sidiq merupakan tokoh awal yang memperkenalkan ajaran Tarajumah di wilayah Pati selatan sekitar tahun 1920-an. Namun semangat belajar K. Djazuli tidak berhenti di rumah.

Niat awalnya adalah nyantri ke Kajen, namun arahan ayahnya membawanya ke Bekiking. Di sana, ia berguru langsung kepada KH. Abdul Qohar, mursyid ayahnya sendiri. Setelah itu, atas saran gurunya, ia melanjutkan nyantri ke Pondok Pesantren Tepuro, Rejosari, Grobogan di bawah asuhan KH. Abdul Mannan. Di sinilah terjadi transformasi besar dalam hidupnya.

Ia berguru bersama nama-nama besar Rifa’iyah lainnya, seperti KH. Abdul Syukur Baturejo, KH. Abdul Hannan Kedungwinong, KH. Suhbi Surodadi, KH. Bunawi Ketileng, dan KH. Sholeh Lebosari. Di antara mereka, K. Djazuli dikenal paling muda dan paling menonjol kecerdasannya. Tempaan spiritual dan ilmiah di Tepuro menjadi modal besar dalam perjuangan dakwahnya kelak.

K. Djazuli dan keluarga saat sowan di Kh. Abdul Manan Tepuro

Jalan Cinta dan Ilmu: Pertemuan dengan Nyai Siti Fatimah

Masa muda K. Djazuli diwarnai kebiasaan mancing di Sungai Talun, yang secara tidak langsung mempertemukannya dengan KH. Abu Bakar Talun, seorang ulama besar yang sudah memiliki pesantren besar dan ayah dari Nyai Siti Fatimah. Melihat konsistensi K. Djazuli dalam shalat Dzuhur bejama’ah meski sedang memancing, KH. Abu Bakar tertarik berdiskusi. Dalam sebuah mujadalah tentang rukun Islam, justru KH. Abu Bakar merasa tercerahkan dan akhirnya berkata, “Le, tak dadekno mantu yo.”

Dari pernikahan ini, lahirlah sembilan anak yaitu K. Ja’far, Ny. Aisyah, Ny. Maemonah, KH. Ali Zuhri, Ny. Rukiyah,  K. Ali Zuhdi, Ny. Masrihah, Ny. Mu’minah, dan Ny. Robi’ah. Oleh K. Djazuli mereka dinikahkan dengan putra atau putri dari berbagai tokoh di semua desa Rifa’iyah yang ada di Pati.

Mendirikan Pondok Pesantren: Menegakkan Tarajumah di Pati

Sekitar tahun 1950-an, setelah menyerap banyak ilmu dari gurunya, K. Djazuli mulai merintis Pondok Pesantren di Sundoluhur. Tempat ini menjadi pusat penyebaran ajaran KH. Ahmad Rifa’i di Pati. Ia mendirikan pesantren dengan segala keterbatasan sarana, namun tekad dan jaringan keilmuannya menarik para santri dari Demak, Kudus, Grobogan, dan Pati sendiri.

Pondok ini bukan sekadar tempat belajar, tapi menjadi benteng pemurnian ajaran Islam melalui tafsir, tauhid, dan fiqih versi Tarajumah. Kitab-kitab KH. Ahmad Rifa’i dijadikan bahan utama pengajaran.

Selain membina santri di dalam pesantren, beliau juga aktif menyebarkan dakwah ke desa-desa seperti Talun, Tambahagung, Kedungwinong, dan Baturejo, menjadikan wilayah Pati selatan sebagai pusat kuat Jamaah Rifa’iyah.

Keteladanan dalam Ibadah dan Kesahajaan Hidup

Keteladanan K. Djazuli tidak hanya dalam aspek pengajaran. Ia dikenal sebagai pribadi yang sangat konsisten dalam ibadah, disiplin waktu shalat, bahkan membuka atap rumahnya untuk melihat bayangan matahari sebagai panduan waktu salat. Ia menghidupkan shalat tahajud bersama para santri dengan menggoyangkan benang yang terhubung ke lonceng yang dipasang di masjid—sinyal lembut untuk bangun malam.

Ia tidak hanya pewaris darah ulama, tapi juga pewaris spiritualitas para shalihin. Di bawah bimbingannya, langgar kecil warisan ayahnya menjadi masjid jami’, dan seiring waktu menjadi pusat kegiatan umat, yang kini berkembang menjadi Pondok Pesantren Miftahul Muhtadin.

Akhir Perjalanan dan Warisan Perjuangan

KH. Djazuli wafat pada tahun 18 Juni 1960 M/23 Dzulhijjah 1379 H, dimakamkan di pemakaman umum Sundoluhur. Namun, perjuangannya tidak berhenti. Anak-anaknya melanjutkan perjuangan, dengan KH. Ali Zuhri dan saudaranya sebagai figur penerus. Tanah wakaf, masjid jami’, dan santri-santri kader Tarajumah yang tersebar di berbagai wilayah adalah warisan hidup beliau yang terus berdampak hingga kini.

KH. Ali Zuhri: Ulama Visioner, Pendidik, dan Penjaga Ajaran Tarajumah

KH. Ali Zuhri

Nama KH. Ali Zuhri tidak asing dalam sejarah perkembangan ajaran Rifa’iyah di Kabupaten Pati, khususnya di Desa Sundoluhur, Kecamatan Kayen. Sebagai anak dari K. Djazuli bin Kiai Sidiq dan Nyai Siti Fatimah, beliau tumbuh dalam keluarga pesantren yang sarat tradisi keilmuan dan perjuangan agama.

Sejak kecil, Ali Zuhri sudah dibesarkan dalam atmosfer keagamaan yang kuat. Tradisi mengaji Al-Qur’an dan mendalami kitab-kitab Tarajumah karya KH. Ahmad Rifa’i menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-harinya. Pendidikan formalnya dimulai di SDN 01 Boloagung, desa tetangga Sundoluhur, yang kala itu belum banyak tersedia fasilitas pendidikan.

Menimba Ilmu di Pesantren-Pesantren Pilihan

Setelah menyelesaikan sekolah dasar, KH. Ali Zuhri melanjutkan pengembaraan ilmu ke sejumlah pesantren. Dimulai dari Pesantren KH. Ahmad Bajuri di Kretegan, Weleri—yang dikenal kuat dalam ajaran Tarajumah, dan di sinilah yang terlama masa nyantri-nya—lalu berguru ke KH. Sholeh di Lebosari, dan KH. Amun di Purwosari, Kendal. Pengembaraan ini berlanjut ke Ambarawa, kepada KH. Abdul Malik, lalu ke Rembang di bawah asuhan KH. Bisri Mustofa, serta ditutup di Kaliwungu bersama KH. Khumaidillah Irfan di Pesantren APIK. Jaringan keilmuan luas ini menjadi fondasi kokoh perjuangan beliau kelak.

Penerus Perjuangan: Membidani Lahirnya YPIR

Kematian ayahandanya, K. Djazuli, pada 1960 menjadi titik tolak peran besar KH. Ali Zuhri. Sebagai putra yang mewarisi semangat perjuangan, ia mengambil alih estafet kepemimpinan dakwah dan pendidikan di Desa Sundoluhur. Puncaknya, pada tahun 1965, bersama para tokoh Rifa’iyah lain seperti KH. Yahya Rais Dahlan dan KH. Abu Bakar Ya’kub dari Desa Talun, Kiai Safarin dari Desa Baturejo, Kiai Abdul Wahab dan Kiai Sungkono dari Desa Tambahagung, dan Kiai Asnawi dan Kiai Sajuri dari Desa Tambangsari. beliau merintis pendirian Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah (YPIR) dan dipercaya menjadi ketuanya.

YPIR lahir sebagai wadah resmi yang tidak hanya mewadahi kegiatan pendidikan, tetapi juga memperkuat posisi sosial-politik jamaah Rifa’iyah di tengah masyarakat dan negara. Di tangan KH. Ali Zuhri, YPIR berkembang menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan penguatan ajaran Tarajumah di Pati dan sekitarnya.

Perintis Pendidikan Formal: MI, MTs, dan RA Miftahul Muhtadin

Kepedulian KH. Ali Zuhri terhadap pendidikan terlihat nyata ketika beliau mempelopori pendirian Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Muhtadin pada 30 Juni 1970 yang diresmikan secara langsung dari Kantor Inspeksi Pendidikan Agama Islam Kabupaten Pati, sebagai respon terhadap rendahnya angka pendidikan di kalangan jamaah. Ia pun menunjuk Kiai Zuhdi sebagai pelaksana tugas operasional sekolah, dengan dibantu para guru, dan staf lainnya., dan MI ini langsung menarik 120 siswa di tahun pertama.

Tak berhenti di situ, pada tahun 1981 didirikan MTs Miftahul Muhtadin yang kemudian memperoleh izin resmi pada 18 Januari 1984. Sebagai Kepala Sekolah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam pelaksana operasional sekolah pertama kali adalah Kiai Azali dari Batang. Di awal perjalanan MTs Miftahul Muhtadin, murid pertama kalinya berjumlah 21 anak. Izin Operasional sekolah MTs Miftahul Muhtadin ini, sesuai dengan SK dari Kakanwil Departemen Agama Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah, sebagai sekolah Madrasah Tsanawiyah yang berstatus Terdaftar dengan izin operasional nomor: WK/5C/667/Pgm/MTs/1984 tertanggal 1984-01-18.

KH. Ali Zuhri saat menyampaikan sambutan dalam Muwada’ah Akhirussanah

Untuk melengkapinya, tahun 1983 KH. Ali Zuhri mendirikan RA Miftahul Muhtadin, lembaga pendidikan usia dini di bawah binaan Departemen Agama Kabupaten Pati. RA Miftahul Muhtadin ini mendapatkan izin operasional pada 1991 dengan nomor SK Pendirian: Wk/5-b/2137/RA/Pgm/1991, Tanggal SK. Pendirian: 1991-09-28. Untuk menjalankan kegiatan belajar mengajar di RA Miftahul Muhtadin, beliau menunjuk Ibu Baroroh dari Banjarnegara sebagai kepala sekolah.

Mengembangkan Pondok Pesantren dan Dakwah

Selain pendidikan formal, KH. Ali Zuhri aktif memperkuat pondok pesantren dan sistem pengajaran kitab Tarajumah. Beliau memperbarui kurikulum dan metode pembelajaran, serta merekrut ustaz-ustazah alumni pesantren untuk mengajar.

Kepemimpinannya membuat Pondok Pesantren Miftahul Muhtadin berkembang pesat, bahkan menjadi tujuan santri dari luar daerah seperti Kudus, Demak, Purwodadi, Kendal, Temanggung, Pekalongan dan daerah lainnya. Selain itu, didirikan juga TPQ dan Madrasah Diniyah, serta dihidupkan pengajian rutin, meliputi kegiatan mingguan ibu-ibu tiap Senin sore, pengajian bapak-bapak tiap Jumat pagi di masjid, yang semuanya masih diteruskan hingga saat ini.

Teladan Kepemimpinan dan Kedekatan dengan Umat

Sebagai pemimpin, KH. Ali Zuhri dikenal dekat dengan masyarakat. Beliau rajin menyambangi rumah-rumah jamaah untuk bersilaturahim, menanyakan kebutuhan, dan memberi nasihat agama. Dalam soal pembangunan masjid, ia menjadi pelanjut dari K. Djazuli dengan membangun dan menyematkan nama Masjid Jami’ Taufiqillah pada tahun 1981.

Beliau juga perhatian pada urusan sosial, seperti memberi pinjaman kepada warga yang membutuhkan, menyarankan pendidikan anak-anak hingga jenjang tinggi, bahkan hingga mengatur etika tata rumah tangga seperti pemisahan pintu tamu laki-laki dan perempuan.

Sosok Visioner dan Pembelajar

KH. Ali Zuhri bukan sosok yang kaku. Ia seorang pembelajar yang progresif. Ia belajar sistem pendidikan formal ke Limpung, Batang, serta menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh organisasi seperti K. Hambali dari Pemalang. Dalam pengelolaan lembaga, ia terbuka terhadap inovasi dan sangat mendorong santri dan guru untuk mengikuti pelatihan seperti GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) di Semarang, yang pernah diikuti KH. Sodikin, M.Pd.

Menurut penuturan KH. Sodikin, M.Pd., semangat dan restu KH. Ali Zuhri sangat berarti dalam pengembangan lembaga pendidikan di bawah YPIR. Di tangan beliau, YPIR menjadi cikal bakal kemajuan pendidikan Rifa’iyah di Pati.

Wafat dan Warisan

Pada hari Rabu, 29 Juli 1999, KH. Ali Zuhri wafat, meninggalkan duka mendalam bagi jamaah Rifa’iyah. Beliau berpulang setelah mencurahkan hidupnya untuk dakwah, pendidikan, dan perjuangan ajaran Tarajumah.

Beliau meninggalkan delapan anak dari tiga istri: Siti Aminah (dengan satu anak, Nyai Siti Khamidah), Nyai Mutmainah (enam anak: Siti Ni’amah, Siti Mathoyah, KH. Muhammad Abidun, Lc., K. Muhammad Nur Alim, Ahmad Zahid Ali, ST, dan Siti Riayah), serta Nyai Qoni’ah (satu anak, Siti Ulwiyah).

Kiai Ja’far: Ulama Tirakat, Tegas, dan Bersahaja dari Sundoluhur

K. Ja’far

Di antara anak-anak Kiai Djazuli bin Kiai Haji Sidiq dan Nyai Siti Fatimah, nama Kiai Ja’far menjadi salah satu figur penting yang turut menanamkan fondasi spiritual dan pendidikan Islam di Desa Sundoluhur, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Sebagai anak sulung, beliau memikul tanggung jawab moral dan keilmuan sejak usia muda, dan dikenal luas karena kejujuran, ketegasan, serta laku tirakat yang luar biasa.

Kejujuran yang Membawa Barokah

Kiai Ja’far dikenal oleh orang-orang sezamannya sebagai pribadi yang jujur dan sangat menjaga lisan. Satu di antara keistimewaan beliau adalah keyakinan banyak orang bahwa tiada dusta yang keluar dari mulutnya. Keistiqamahan menjaga lisan itu menghadirkan kekuatan spiritual tersendiri: setiap kata yang beliau ucapkan ibarat doa yang mujarab.

Hal ini banyak dirasakan oleh anak beliau, KH. Moh. Thoha Ja’far. Dalam kesaksiannya, setiap kali hendak merantau dan berpamitan kepada sang ayah, ia akan menerima ucapan pengantar seperti, “semoga selamat” atau “semoga mendapat kanugrahan.” Anehnya, ucapan itu seakan menjadi takdir perjalanan: ketika diantar dengan “selamat,” beliau pulang dengan tangan kosong namun selamat; namun ketika mendapat ucapan “kanugrahan,” ia pulang membawa keberkahan rizki yang melimpah. Namun saat tak sempat pamit, ia hanya pulang membawa dirinya sendiri.

Fenomena itu menjadi pelajaran spiritual bahwa mulut yang bersih dari dusta, cercaan, dan ucapan sia-sia akan melahirkan doa yang layak dikabulkan. Satu pesan tersirat dari Kiai Ja’far: mungkin bukan karena Allah belum mengabulkan doa-doa kita, melainkan karena lisan kita sendiri yang belum pantas menjadi pintu terkabulnya doa.

Sosok Ahli Tirakat dan Penjaga Waktu

Selain kejujuran, tirakat dan ibadah sunnah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian Kiai Ja’far. Beliau hampir tidak pernah meninggalkan shalat malam, bahkan keberadaan beliau di malam hari menjadi semacam penanda waktu fajar bagi warga sekitar.

Salah satu kebiasaan beliau yang dikenang adalah bersin setiap menjelang fajar saat mandi di kamar mandi masjid untuk bersiap shalat tahajud. Suara bersinnya yang menggema menjadi alarm alami bagi warga untuk bangun, bersiap, dan beribadah. Kisah ini menggambarkan betapa konsistennya beliau dalam ibadah dan pengaruh positifnya terhadap masyarakat sekitar, bahkan tanpa harus berbicara.

Tegas dalam Pendidikan Keluarga

Kiai Ja’far dikenal sebagai pribadi tegas, terutama dalam hal pendidikan agama untuk anak-anaknya. Ia mendidik keluarganya dengan kedisiplinan tinggi: mengaji, menjaga waktu ibadah, serta melaksanakan kegiatan harian secara teratur. Ketegasan ini bukan dalam bentuk kekerasan, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral seorang ayah dan guru dalam memastikan generasi setelahnya memiliki integritas iman dan ilmu.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Dalam menempuh pendidikan agama, Kiai Ja’far juga melakukan pengembaraan ke sejumlah pesantren. Ia mondok di Pesantren Lebosari, Kendal untuk belajar kepada KH. Muhammad Sholeh, dan kemudian melanjutkan ke Grobogan untuk berguru kepada Mbah Nawawi, putra dari Kiai Abdul Mannan Rejosari—guru utama ayahandanya.

Dengan jalur keilmuan yang langsung bersambung ke Kiai Abdul Mannan dan Syaikh Ahmad Rifa’i, Kiai Ja’far melanjutkan estafet ajaran Tarajumah dengan penuh dedikasi, meski tidak banyak tampil di muka umum seperti adiknya, KH. Ali Zuhri.

KH. Ali Zuhri dengan kakaknya, K. Ja’far

Sinergi antar Saudara: Menanam Tonggak Pendidikan

Tiga saudara kandung: Kiai Ja’far, KH. Ali Zuhri, dan Kiai Ali Zuhdi, bersama saudara, ipara dan masyarakat bersinergi menjadi tonggak awal pendidikan Islam Rifa’iyah di Sundoluhur. KH. Ali Zuhri tampil di garis depan, menyapa masyarakat dan mengorganisasi pendidikan, sedangkan Kiai Ja’far lebih memilih menjadi pengawal ibadah dan penjaga kemurnian pelaksanaan syariat di tengah masyarakat.

Mereka menciptakan kesadaran baru: bahwa spiritualitas adalah pondasi kehidupan masyarakat, bukan sekadar urusan pribadi. Berkat sinergi ini, budaya mengaji mingguan dan kegiatan dakwah berkembang menjadi sistem pendidikan formal dan terstruktur, yang kelak dikenal sebagai Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah (YPIR)—lembaga yang masih hidup dan berkembang hingga kini.

Keluarga dan Keturunan

Kiai Ja’far menikah dengan Nyai Asminah binti Nasuha, warga asli Sundoluhur. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai lima anak yaitu, Siti Solihah, KH. Moh. Thoha, Siti Rohmah, Siti Juwariyah, dan Junaidi Abdillah. KH. Moh. Thoha Ja’far menjadi salah satu penerus utama yang mewarisi semangat dakwah dan pendidikan dari ayahnya.

Keistimewaan Pribadi

Di antara saudara-saudaranya, Kiai Ja’far dikenal memiliki bacaan al-Qur’an yang paling fasih dan merdu. Selain itu, masyarakat sekitar mengenal beliau memiliki karomah dan kesaktian tertentu yang tidak diumbar, namun sangat dihormati oleh para murid dan santri. Namun, yang paling menonjol adalah keteguhannya dalam menjaga nilai-nilai laku ulama: jujur, disiplin, dan berserah diri secara total kepada Allah.

Wafat

Kiai Ja’far wafat pada tahun 2001 M, dan dimakamkan di pemakaman umum Desa Sundoluhur, berdampingan dengan para masyayikh lain yang menjadi pelopor dakwah dan pendidikan Islam Rifa’iyah di Sundoluhur

Kiai Ali Zuhdi: Ulama Kitab Kuning, Penempuh Jalan Ilmu Sejak Muda

K. Ali Zuhdi

Nama Kiai Ali Zuhdi menjadi bagian penting dalam rantai perjuangan spiritual dan pendidikan Islam yang dirintis oleh keluarga besar Kiai Djazuli di Desa Sundoluhur, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Sebagai anak laki-laki termuda dari pasangan Kiai Djazuli dan Nyai Siti Fatimah, beliau tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan tradisi ilmu, adab, dan pengabdian kepada umat.

Petualang Ilmu dan Pejalan Sunyi

Sejak muda, Kiai Ali Zuhdi dikenal sebagai pribadi petualang dan haus ilmu. Dalam pengembaraannya mencari ilmu agama, beliau sempat menimba pengetahuan di berbagai pesantren:

  • Berguru kepada KH. Bajuri Kretegan

  • Melanjutkan ke KH. Sholeh Lebosari, Kendal

  • Meneruskan perjalanannya hingga ke wilayah Banten

Perjalanan panjang ini membentuk pribadi beliau menjadi ulama yang sangat kompeten dalam kitab kuning. Di kalangan internal keluarga dan santri, beliau dikenal sebagai figur yang menguasai literatur klasik Islam (kutub at-turats) dengan dalam dan tajam. Pemahaman beliau atas fiqh, tafsir, dan tasawuf klasik menjadikan beliau tempat rujukan dalam banyak diskusi keilmuan.

Kehidupan Keluarga dan Rumah di Depan Masjid

Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmunya, Kiai Ali Zuhdi kembali ke kampung halaman dan menikah dengan Nyai Maslahah binti Kiai Dahlan dari Talun, Kayen. Mereka menetap di rumah depan Masjid Jami’ Taufiqillah, Sundoluhur—hanya selangkah dari pusat aktivitas keagamaan.

Rumah itu bukan hanya menjadi tempat tinggal, tapi juga menjadi rumah ilmu tempat beliau menerima tamu, mengajar kitab kuning, dan membina kader-kader muda. Sepeninggal beliau, Nyai Maslahah beserta anak-anak mereka pindah ke Talun, melanjutkan kehidupan di tengah keluarga besar.

Pengabdian di Bidang Pendidikan

Meskipun usia beliau terbilang singkat, kiprah Kiai Ali Zuhdi sangat nyata, khususnya dalam pendidikan formal Islam. Beliau bersama kedua kakaknya, Kiai Ja’far dan KH. Ali Zuhri, bersinergi mengembangkan pendidikan dan pengajian masyarakat di Sundoluhur.

Salah satu kontribusi nyata beliau adalah saat penunjukan sebagai pelaksana Ketua MI Miftahul Muhtadin saat pertama kali didirikan. Penunjukan ini menunjukkan tingkat kepercayaan dan penghormatan masyarakat terhadap integritas dan kapasitas keilmuan beliau. Dengan ketenangan dan kecermatannya, beliau membantu meletakkan fondasi administratif dan akademik bagi madrasah yang hingga kini masih berdiri melayani umat.

Sosok Sakti yang Merendah

Seperti juga ayah dan saudara-saudaranya, Kiai Ali Zuhdi dikenal memiliki kesaktian spiritual (karomah) yang disaksikan oleh banyak orang. Namun, beliau bukan tipe yang menonjolkan diri. Kesaktian itu hadir dalam keseharian beliau sebagai penjaga nilai, pemelihara ilmu, dan pelindung akhlak umat. Keberadaan beliau menjadi penyeimbang di antara dinamika keluarga ulama dan masyarakat yang tumbuh di sekitar Masjid Jami’ Taufiqillah.

Wafat di Usia Muda

Duka besar menyelimuti keluarga besar Kiai Djazuli ketika Kiai Ali Zuhdi wafat pada bulan Agustus 1985 M, bertepatan dengan 15 Muharram 1406 H. Saat itu usia beliau baru 40 tahun, sementara istrinya, Nyai Maslahah, masih berusia 30 tahun.

Meski usia beliau singkat, warisan spiritual dan keilmuan yang beliau tinggalkan terus mengalir melalui keturunannya, yaitu: Ikhwatun, Izzuddin (almarhum), Mukarramah, Nihayah, Muakhiroh dan Lu’luatul Jannah


Penyusun: Ahmad Zahid Ali, Firman Syahroni, Abdul Mukti Assiddiqi
Editor: Ahmad Zahid Ali

Tags: K. Ali ZuhdiK. DjazuliK. Ja'farKH. Ali ZuhriKH. SidiqPatiRifaiyahSundoluhurTarajumah
Previous Post

Makarimal Akhlak untuk Pengguna Internet

Rifa'iyah

Rifa'iyah

Tim Redaksi Rifa'iyah

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id